Halaman

Senin, 04 Januari 2010

ASWAJA apaan tu....?

A. Pengertian Aswaja
ASWAJA (ahlus Sunah wal Jama’ah) berbentuk dari tiga kata dasar yakni Ahl, al-Sunah dan al-Jama’ah. Dalam kamus Al Munawir, Ahl berarti famili, atau kerabat. Namun menurut Fairuzabadi Ahl diartikan pengikut aliran. Pada bagian lain kata al-Sunnah berarti perilaku. Ia berasal dari kata sunah yang artinya jalan. Ibnu Atsir menyebutkan bahwa kata al-Sunnah berarti jalan dan perilaku.1
Dalam eksiklopedia Arab (al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah), di ta’rifkan bahwa Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah itu sebagai: “Al-Sunnah secara lughotan (etimologi) bermakna al-thariqah (jalan atau aliran). Dan secara istilahan (terminologi) semua yang berasal dari Nabi SAW baik dalam bentuk sabda, perbuatan maupun pengakuan. Dan Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah adalah mereka yang berpegang pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan mempertahankannya”.2
Dibagian lain juga disebutkan, Aswaja merupakan singkatan dari istilah Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah . ada iga kata yang membentuk istilah tersebut yakni :
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rosululloh SAW.
3. Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rosul SAW pada masa al-Khulafa’ al-Rosyidun (Kholifah Abu Bakr RA, ‘Umar bin Khaththab RA, ‘ Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA).
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Ghuyah li thalibi Thariq al-Haqq.
“Yang dimaksud denga al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan pada sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa al-Khulafa al-Rasyidun yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberi rahmat pada mereka semua)”.(Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq Juz I, hal 80)

Selanjutnya , Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdussyakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah :
“Yang disebut Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi SAW dan jalan pada sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati”.(Al-kawakib al-Lammah’ah, hal 8-9)

Jadi Ahlussunah Wal Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Yakni sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Tiga prisnsip tersebut adalah al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan), prinsip al-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan Dalil Aqli dan Dalil Naqli). dan AL-I’tidal (tegak lurus).3
Dikemukakan pula oleh Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya kitab “Nasy’ah al-Asy’ariyah Wa Tatawwuriha”, istilah Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) mengandung dua konotasi; am dan khas. Makna am Aswaja ialah pembanding Syi’ah, berarti Mu’tazilah seperti halnya Asy’airah termasuk dalamnya dengan pengertian yang sama. Sedangkan makna khasnya ialah kelompok Asya’irah (pengikut mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran Kalam.
Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah dengan ciri wawasannya adalah :
“mengikuti jalan atau aliran pada Sahabat dan Tabi’in dalam berserah diri dalam menghadapi maslah-masalah mustasyabihat yang terdapat dalam al-Qur’an (ayat-ayat mustasyabihat), dan menyerahkan hakikat artinya kepada Allah sendiri, tidak suka mengembangkan pengertian metaforis (ta’wil) seperti kebiasaan Mu’tazilah”.

Selanjutnya dengan mengutip pendapat al-Isfarayini dikatakan :
“Kata “al-jama’ah” dalam konteks ini diartikan sebagai pencarian, bahwa mereka menggunakan dali-dalil syar’iyah berupa Kitabullah, sunnah Rasul, ijma al-a’immah dan qiyas, mereka memendangnya sebagai masalah prinsip”.

Ijma’ al-shahabah disepekati sebagai acuan dan dasar hukum, karena ada legitimasi dari Nabi SAW sendiri melalui pernyataan beliau : ma ana ‘alaih al-yaum wa ashhabi (apa yang saya lakukan pada hari ini dan juga para sahabatku).
Sebagai istilah keagamaan maupun keilmuan, “Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah” sudah populer sejak zaman sahabat, karena istilah tersebut bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian istilah ini dipopulerkan oleh al-A’immah al-Arba’ah (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hambal).4
Perdebatan Aswaja melihat dari firqoh dalam Islam, merekalah yang mengklaim bahwa dirinya sebgai pengikut Aswaja, dalam hal ini terdapat dua pengakuan, yaitu, pertama, yang menyatakan pendapat bahwa Aswaja sudah ada semenjak zaman Nabi dan tabi’in yang sering disebut generasi salaf pada pengertian istilah secara generik yakni merekalah yang selalu mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Kedua, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Aswaja adalah faham keagamaan Islam yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan Maturidi, rumusan fiqh-nya madzhab empat, serta rumusan Tasawuf-nya Junaidi al-Baghdadi.5
Al-Ustaz Abu al-Fadl ibn al-Syaikh abd. Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab “ Al-Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahlussunah Wal Jama’ah” menyebutkan definisi Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa committed mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan tariqah atau petunjuk pada Sahabatnya dalam hal akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (Tasawuf). Kelompok tersebut meliputi ulama Kalam (Mutakallimin), ahli fiqh (fuqaha) dan ahl al-hadis (muhaddisin) serta ulama Tasawuf (sufiyah). Jadi pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah menurut urf Khas ialah kelompok Muhaddisin, Sufiyah, Asy’airah dan Maturidiyah. Mereka inilah kelompok yang committed mengikuti sunnah Nabi SAW., dan petunjuk pada sahabatnya. Pengikut mereka inilah yang kemudian disebut kelompok Aswaja dan yang lainya tidak. Sedangkan pengertian menurut am Ahlussunah Wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa kommitted melaksanakan sunah Nabi SAW dan petunjuk para Sahabatnya. Dengan kata lain Aswaja ialah pemurnian terhadap penafsiran dalam amalan “sunnah”, sedangkan lawannya ialah ahl al-bid’ah.6
Menurut Dr. Ahmad Amin, al-Asy’ari sebagai pengikut madzhab Syafi’I (dalam masalah fiqih), dan Maturidi adalah pengikut Madzhab Hanafi, terdapat perbedaan diantara keduanya yang merupakan bias dari perbedaan antara al-Asyafi’I dan Hanafi, dalam hal ini lebih banyak perbedaan semantis dan dialektis, dalam pengamatan Ibnu Zadah (abdurahman bin Ali), perbedaan tersebut secara umum dapat disebutkan menjadi tiga, yakni masalah prinsip iman, kewajiban iman kepada Allah dengan akal, dan masalah ‘Ishmatul Anbiya (keterjagaan pada Nabi dari perbuatan dosa).7
B. Sejarah Aswaja dan Perkembangannya
Sebagaimana dicatat oleh para sejarawan muslim paling awal, bahwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh mayoritas kaum muslimin, ternyata telah menimbulkan prostes keras dari Mu’awiyah ibn Abu Sofyan, seorang gubernur Damaskus, dan terhitung masih kerabat dekat Utsman. Protes kedua dilancarkan oleh “trio”; Aisyiah, Talhah, dan Zubair. Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas tumpahnya darah Utsman. Gerakan oposisi kedua kelompok diatas pada gilitannya pecah menjadi perang terbuka; yang pertama pecah dalam perang Siffin, sedang kedua meledak dalam perang Jamal. Dalam perang ini, Talhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyiah sendiri tertangkap, namun dipulangkan kembali ke madinah.
Dalam perang Siffin, psukan Mua’awiyah terjepit, dan guna menghidnarkan diri dari kekalahan, mereka lantas mengajukan usulan agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan melalui arbitrasi (perundingan). Strategi ini ternyata sangat menguntungkan posisi Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah kosentrasi Ali, terbukti pasukan Ali terpecah menajadi dua kelompok; disatu pihak setuju untuk mengadakan perundingan, disatu pihak menolak, dan menginginkan pertempuran tetap dilangsungkan sampai diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah, dipihak yang menolak arbitrasi berkeyakinan bahwa keinginan Mu’awiyah adalah untuk berunding dengan mengacungkan mushaf al-Qur’an diujung senjata, hanyalah tipuan muslihat saja, tanpa ada niat yang tulus. Apalagi ketika diketahui bahwa arbitrasi pihak Ali yang mewakili oleh Abu Musa al-Asy’ari secara “politis” kalah dalam berdiplomasi melawan kubu Mu’awiyah yang diwakili oleh Amru bin Ash, semakin mengeraskan tekad kelompok yang kontra perundingan untuk keluar dari barisan Ali, kelompok ini kemudian populer dengan sebutan Khawarij.
Berdasarkan deskripsi historis tersebut, maka sesungguhnya pada periode itu telah muncul tiga partai besar, yakni partai Ali, partai Mu’awiyah dan partai yang menentang partai Ali dan partai Mu’awiyah. Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa politis tersebut, agaknya telah melahirkan “trauma” yang cukup mendalam di bagian kaum muslimin. Sebabnya adalah bahwa potensi politik dan konflik itu pada gilirannya yang lebih dominan dalam mewarnai corak dan fatwa keagamaan yang kemudian mereka bermunculan.
Nurcholis Madjid (1987), dalam salah satu tulisannya mengatakah bahwa dalam bidang keagamaan, terutama yang menjurus kepada sikap kenetralan, khususnya bagi warga Madinah yang dipelopori oleh Abdullah bin Umar (bin al-Khattab), mereka mendalami agama berdasarkan al-Qur’an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan tradisi (al-Sunnah) penduduk Madinah. Tradisi kota Nabi itu dipandang sebagai kelanjutan langsung tradisi yang tumbuh pada zaman Nabi.
Kaum netralis ini ternyata ditendang oleh penguasa Umayyah, meskipun mereka juga sering melakukan oposisi moral kepada rezim Damaskus. Pada tahap berikutnya, terjdilah kemudian dengan apa yang dinamakan proses penggabungan dan penyatuan golongan al-jama’ah (para pendukung Mu’awiyah) dan golongan as-Sunnah (para netralis politik Madinah), dan kelak yang melahirkan golongan yang dinamakan Ah al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja).
Abdul Hadi al-Misri (1990) juga mencatat bahwa faktor yang melatarbelakangi munculnya paham Ah al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah karena konflik golongan saat itu. Dalam konteks ini, golongan Ah al-Sunnah Wa al-Jama’ah merasa berkepentingan untuk menunjukan identitas yang dimilikinya. Meskipun, lanjut al-Misri, mereka pada dasarnya merupakan golongan yang sering mengkalim sebagai lanjutan secara alami dari perjalanan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.
Keterangan yang sedikit berbeda dari cikal bakal lahirnya paham Aswaja dikemukakan oleh Umar Hasyim (1987) sebagai berikut : pada saat itu muncul suatu perdebatan seputar masalah apakah ra’yu (akal) boleh dijadikan dasar untuk menetapkan hukum setelah al-Qur’an dan al-Hadits? Perdebatan itu pada gilirannya memunculkan dua pemikiran besar dikalangan kaum mujthidin.
Pertama, Ahlul-Hadits, yakni mereka yang hanya berpegang kepada Hadits (setelah al-Qur’an). Mereka mengeluarkan hukum-hukum dari sejumlah Hadits yang telah mereka terima, dan tidak mau menggunakan ra’yu dan qiyas (analogi) terhadap suatu perkara yang tidak ditemukan dalilnya dalam Hadits.
Kedua, aliran Ahlul-Ra’yu, yakni yang menetapkan hukum setelah al-Qur’an dan al-Hadits, dan apabila dalam kedua-duannya tidak ditemukan, mereka menggunakan qiyas. Karena kekurangan Hadits yang mereka terima, maka kebanyakan hukum yang mereka hasilkan adalah ijtihad berdasarkan ra’yu.
Kedati demikian. Klasifikasi diatas bukanlah bersifat harga mati, sebab dalam kenyataannya, Ahlul-Hadits tidak berarti sama sekali meninggalkanrasio, dan sebaliknya. Aliran pertama sering disebut Kubu Madinah (Hijaz), sedangkan aliran kedua sering disebut Kubu Irak. Bersamaan dengan timbulnya dua aliran mujtahid tersebut, munculah imam-imam mujtahid yang melahirkan berbagai pemikiran dan fatwa keagamaan buah hasil dari ijtihad yang mereka lakukan.8
Dalam hal ini , para pengikut Ali bin Abi Thalib memilih golongan as-Sunnah yang mayoritas memihak kepada sahabat Nabi yang berada di Madinah dan Makkah. Ahlul-Sunnah kebanyakan adalah dari mereka yang bergaul dengan para ulama anggota keluarga Nabi SAW, dengan dmikian dalam hubungan ini para pendukung Ali (Syi’ah) merupakan pilar menyangga kepentingan dalam gerakan as-Sunnah.
Jika dalam awal tulisan ini dijelaskan bahwa aliran Ahlus-Sunnah digerakan oleh Abdullah ibn Umar, mungkinkah dalam hal ini Abdullah ibn Umar mengikuti pola Ali, dan justru tidak pengikuti pola ayahnya (Umar). Perlu dijelaskan disini bahwa apa yang dilakukan oleh Abdullah dalam mengikuti Ali adalah dalam bidang ijtihad, akan tetapi jika Ahlus-Sunnah di artikan sebagai “gerakan politik”, maka jelas berbeda, karena dalam setting ini mereka bersikap netral.
Sepintas dalam catatan ini terkesan tumpang tindah, disatu sisi, Syi’isme justru menjadi pilar penyanggah gerakan as-Sunnah, namun disisi lain ia berpegangan dengan gerakan as-Sunnah dalam gerakan politik, karena kaum Syi’ah dalam peta ini cenderung berpihak pada gerakan al-Sunnah yang dipelopori oleh Abdullah ibn Umar, akibat yang harus diteima adalah, seringkali rezim Damaskus menaruh curiga terhadap gerakan ini. Apalagi jika disadari bahwa Madinah dan Mekkah merupakan dua kota terpenting yang dinilai menyimpan sejumlah peristiwa sejarah dan mitologi. Dan oleh karena itu, di dalamnya tetap menyimpan energi besar yang sewaktu-waktu dapat diubah dan diledakkan enjadi revolusi sosial untuk menentang kekuasaan tirani Damaskus.
Persoalannya memang semakin bertambah rumit, manakala upaya untuk mencari identifikasi paham Ah al-Sunnah Wa al-Jama’ah itu mulai masuk ke wilayah teologis, dalam aspek teologis Ah al-Sunnah Wa al-Jama’ah sering dikonotasikan dengan teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi, sedangkan seperti teologi Mu’tazilah dipandang diluar paham Aswaja.
Dalam sejarah pemikiran Islam, sebagai term Ah al-Sunnah Wa al-Jama’ah, muncul secara lebih populer setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), mengajukan gagasan “kalam”nya yang antitesis terhdap pikiran-pikiran mu’tazilah.
Pemikiran-pemikiran teologis dua tokoh ini berhasil mempengaruhi banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mu’tazilah kepada berpikir tradisionalis, dengan berpegang pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Karena itu Aswaja sering diidentikan dengan Asy’ariisme-Maturidiisme sebagaimana dikemukakan komentator Ihya Ulumuddin Murtaza Zubaidi, dalam kitabnya Itihaf Saadah al-Muttaqin.
Al-khayali, dalam catatan pinggir atas buku Syarh al-Aqaid, menyatakan: “Al-Asy’ariyah adalah Ahlussunah Wal Jama’ah. Ini populer di wilayah-wilayah Khurasan, Irak, Syam dan ditempat-tempat lain. Sementara al-Maturidiyah juga disebut demikian di wilayah transoxiana.
Para penulis sejarah pemikiran Islam, semacam Abdul Qadir al-Bagdadi dan al-Syahrastani selalu mengaitkan istilah Aswaja dengan Hadits Nabi SAW. Tentang kelompok-kelompok kaum muslimin yang terpecah menjadi 73 golongan, Nabi mengatakan bahwa semu kelompok tersebut akan masuk neraka kecuali satu, yaitu : “ma’ana alaih wa ashhabi” (tradisi saya dan sahabat-sahabat saya). Dalam riwayat lain disebutkan “kecuali satu yaitu al-jama’ah.
Al-Sunnah mula-mula diberi pengertian identik dengan Hadits Nabi Muhammad SAW. Ahlus-Sunnah, dengan begitu berarti orang-orang yang mengikuti dan mengamalkan hadis Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi al-Sam’ani (w.1166) menginformasikan kepada kita bahwa al-sunnah dipakai sebagai lawan dari bid’ah (penyampingan), ketika bid’ah telah terjadi dan marak daiman-mana, maka sekelompok ulama melakukan reaksi atasnya dengan menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlus-Sunnah. Yaitu sebuah kelompok yang ingin mengembalikan segala persoalan umat kepada tradisi Nabi SAW dan melakukan pembelaan terhadapnya.
Pengertian ini dalam perjalanan selanjutnya di beri identitas yang ekslusif. Yakni ketika ia hanya ditujukan kepada kelompok Mu’tazilah, dalam arti lain, gerakan-gerakan kelompok Sunni ini lebih mengarah pada kelompok Mu’tazilah yang dinilainya banyak melakukan penyimpangan dan mengabaikan tradisi Nabi SAW.9
Mencermati perkembangan sejarah aliran-aliran dalam Islam, kelompok muslimin yang senantiasa konsisten terhadap al-sunnah memah telah muncul jauh lebih sebelum al-Asy’ari lahir.
Al-Asy’ari adalah kader Mu’tazilah, iatelah belajar tentang ke-Muktazilahan kurang lebih 40 tahun, melalui seorang guru bernama al-Juma’I, faktor penting yang menyebabkan ia keluar dari barisan Mu’tazilah adalah kekecewaannya terhadap psosisi Mu’tazilah yang menurutnya sudah tidak relevan lagi dengan situasi yang berkembang saat itu. Kaum Mu’tazilah dipandang telah berubah menjadi kelompok teolog akademik yang mundur kebelakang, mengasingkan diri dari tekanan dan keteganganwaktu, serta cenderung elitis, dan hanya berdiri diatas menara gading. Pikiran-pikiran yunani yang diperankan sudah menyimpang jauh dari agama masyarakat awam, sehingga sulit diterima secara luas.
Bertolak dari argumen diatas, ada kemungkinan bahwa dalam paham Aswaja, terutama dalam lapangan teologi, telah mengalami polarisasi. Disatu sisi muncul pemikiran yang cenderung rasionalistik, seperti mU’tazilah. Namun pada saat yang bersamaan muncul pula pemikiran yang justru hendak “menyapu bersih” kecenderungan pola pikir rasionalistik seperti itu. Kelompok kedua sering dokonotasikan sebagai kelompok al-Asy’ari dan al-Maturidi. Apapun pertentangan yang muncul, kenyataan menunjukan bahwa kelompok “moderat-lah” sampai sekarang masih cukup diminati oleh kaum muslimin, sedangkan kelompok rasionalis akhirnya terpaksa minggir sebelum kemudian redup dan punah. Salah seorang cendekiawan yang di pandang kesulitan bagi “Hujjatul Islam” ini untuk mengembangkan ajaran As’ariyah, dan dengan wataknya yang moderat, teologi Asy’ari akhirnya berkembang sangat pesat dan cepat.10

Tidak ada komentar: