Halaman

Senin, 28 Desember 2009

KONTRIBUSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM ASWAJA MENUJU MASYARAKAT INKLUSIFISME BERAGAMA

Sejak lahir, manusia membawa naluri perbedaan antara satu dengan individu yang lain. Keniscayaan perbedaan itu semakin lama semakin tajam dan akan dapat tumbuh menjadi pemicu konflik apabila tidak memperoleh arahan yang sistematis dan filosofis serta ter-ekspresikan dalam bentuk debat kusir atau sok merasa benar dan mutlak sendiri (sofistis). Tetapi bila keniscayaan naluri perbedaan itu tumbuh dan berkembang dewasa lantaran arahan logika filsafat yang benar, setidaknya dapat mendekati kebenaran secara logika formal dalam konteks berfikir, maka budaya dialogis dan inklusifisme dalam berfikir akan mengarahkan seseorang dewasa dan berperadaban maju dalam berfikir. Ekspresinya dapat dibuktikan dalam budaya dialog yang sehat dan tidak mudah menuduh pendapat orang lain selalu salah ketika berbeda dengan pendapatnya. 1
Dalam konteks modern kita saat ini , tradisi Islam NU yang Sunni ini, mau tidak mau, akan berhadapan dengan persoalan pluralitas sosial. Dalam hal ini Aswaja mengetengahkan suatu kaidah tentang bagaimana merespon kemodernan. Yaitu kaidah “Al- Muhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah”, yakni menjaga norma lama yang baik, dan mengambil nilai baru (modern) lebih baik.2
Perubahan besar saat ini mengarah kepada tata dunia baru yang membawa nilai pluralitas, keterbukaan, penghargaan HAM, egalitarianisme, kesetaraan (termasuk Gender), demokrasi, kebebasan berpendapat dan keadilan. Nilai-nilai tersebut merupakan Al- Jadid al- Ashlah. Watak Aswaja yang melekat pada tubuh NU memberikan otoritas besar kepada ulama, seperti kalimat “NU mempertahankan ilmu dan hak menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda” diatas, dengan demikian bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan berpendapat tadi. Artinya, suatu munaqosah, yang mestinya bertujuan untuk menemukan “Kebenaran” yang relevan bagi kenyataan, dalam tradisi NU “Kebenaran” terakhir tetap berada dalam kekuasaan pada ulama/ kiai.
Salah satu stigma yang sering diberikan kepada jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah bahwa organisasi keagamaan ini dinilai memiliki watak sosial politik yang senantiasa tidak konsisten. Disatu sisi tampak radikal dan militan, namun pada sisi lain menunjukkan karakter yang kompromistik-akomodatif.3 Bisa jadi sikap yang demikian itu dipandang sebagai hal yang wajar dan logis yang senantiasa memiliki referensi-referensi dogmatis.
Dengan berpangkal pada doktrin Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) yang dianut dan dikembangkan, maka dalam berbagai gerak dan langkahnya, NU senantiasa memperlihatkan watak yang fleksibel dalam menterjemahkan dan menerima realitas. Dalam hal ini, selalu terbuka peluang bagi para pengikutnya untuk menginterprestasikan realitas, baik yang bersifat given, dalam arti bahwa teks-teks keagamaan yang dirujuk untuk “melegitimasi” realitas tersebut sudah ada dan dilakukan oleh para ulama yang dalam tradisi NU berkedudukan sebagai mujtahid.
Belakangan ini, watak seperti itu mulai digugat dan dipertanyakan relevansinya. Sebab, hal itu mengesankan NU sebagai organisasi yang memiliki pandangan “serba boleh” dalam konteks ini, yang lebih diutamakan adalah bagaimana mempertahankan konsistensi dan teguh dalam pendirian tanpa mengesankan sebagai organisasi yang kaku dan eksklusif, dalam pengertian, nilai-nilai fleksibelitas tetap dipertahankan sepanjang hal itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan sosial kemasyarakatan secara universal.
Selain itu yang kita kenal dengan pengertian faham Aswaja yang dimaksud dikalangan NU adalah beragama Islam dengan mengikuti Imam Asya’ari dan Muturudi dalam pengamalan aqidah (teologis), mengikuti madzhab empat dalam pengamalan fiqih dan mengikuti Imam Junaidi AL- Bagdhadi dalam amalan Tasawuf.
Sejarah menjelaskan, bagaimana konsep Aswaja dalam NU yang pernah dirumuskan oleh Kyai Hasyim Asy’ari, dalam hal ini kyai Hasyim Asy’ari mengetengahkan tiga sisi pokok yang disebut dengan Qonun Asasi yang ditulis langsung oleh beliau, yakni : Pertama, memuat landasan pokok partai Nahdlatul Ulama yang terdiri dari ayat–ayat Al-Qur’an yang pilihan. Kedua, menjelaskan keharusan mengikuti madzhab empat. Ketiga, berisi 40 Hadits Nabi pilihan.4 Dalam Qonun Asasi Kyai Hasyim Asy‘ari tidak mengemukakan secara eksplisit definitive (Ta’rif) Aswaja sebagaimana definisi yang kita pahami sekarang ini. Kyai Hasyim Asy’ari hanya mengemukakan mengenai keharusan bagi warga Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk berpegang pada madzhab fiqih yang empat, namun demikian beliau juga memberikan alasan yang logis dan rasional mengapa orang harus mengikuti madzhab tertentu. Hidup bermadzhab menurutnya akan mendatangkan maslakhah (kebaikan) sedangkan sebaliknya, hidup tanpa bermadzhab akan mendatangkan kemalapetakaan.
Lebih lanjut Nahdlatul Ulama berdiri tidak hanya untuk melayani kepentingan kelompok tertentu tetapi untuk kepentingan umat. Istilah umat merupakan pilihan yang tepat untuk menggambarkan semangat universalitas dan kebersamaan, tapi ajaran NU yang bersifat inklusif tersebut pada masa-masa selanjutnya menjadi demikian tertutup bahwasannya selain orang yang mengikuti Asy’ari dan Muturudi dan madzhab fiqih empat bukan Aswaja dan bukan NU. Ekslusifisme ini diakibatkan oleh peranan kyai sebagai penjaga ortodaksi yang demikian kuatnya. Keberadaan kyai tersebut seolah-olah menjadi birokrasi bagi ajaran Aswaja. Meminjam istilah Max Weber, sosiolog terkemuka, mereka disebut sebagai les gestionnaeres du sacre. Karena penjagaannya terhadap ajarannya dari perubahan begitu ketat ibarat seorang birokrat yang menjaga kekuasaan.
Sampai dekade 1997, nampaknya belum ada perubahan yang cukup berarti, bahkan sampai dekade sekarang ini Aswaja selalu mendapat tantangan dari para kyai apabila ada upaya pertanyaan ulang terhadap Aswaja tersebut. Melihat kenyataan yang ada bisa dimungkinkan lapisan masyarakat bahwa tidak merasa keberatan apabila para kyainya sebagai penjaga ortodoksi, mempunyai keinginan untuk melakukan rekrontruksi Aswaja.5
Dalam perkembangannya, dalam wawancara rekrontruksi Aswaja mensinyalir munculnya kontroversi yang sulit untuk ditemukan titik temunya, yakni : Pertama, kelompok yang menghendaki peninjauan ulang atas Aswaja dan mereka yang tetap berpegang pada rumusan semula, yakni menganggap cukup Aswaja yang berteologi menurut Asy’ari dan Maturidi, kelompok ini pada umumnya diwakili oleh para ulama-ulama tua NU seperti KH. Mohammad Dawam Anwar, KH. Ridho Saleh dan beberapa ulama muda yang berpikiran seperti Gus Najih Maimun dari Serang. Kedua, kelompok ini menghendaki rekontruksi Aswaja secara pelan–pelan dan moderat yang diwakili oleh Dr. Nur Iskandar al-Basyrani.
Dalam perkembangannya wacana rekontruksi Aswaja terus bergelombang, hingga salah satu konsep yang ditawarkan oleh KH. Said Aqil Siradj, bagaimana dengan menggunakan doktrin Aswaja dalam kerangka Manhaj Al-Fiqr, yang dalam konteks social kemasyarakatan berpangkal pada landasan pokok yakni tawasuth (bersikap tengah) tasamuh (Toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma’ruf nahi mungkar (mendorong untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar).6
Dalam wilayah praksisnya, metode tersebut telah memberikan warna baru dilingkungan masyarakat terutama masyarakat kaum muda NU yang dalam dinamikanya bahkan cenderung liberal dan dalam aspek-aspek tertentu tidak mudah tunduk dengan postulat–postulat resmi agama. Fakta ini bahkan telah meghancurkan tesis lama yang menilai bahwa doktrin Aswaja yang digunakan masyarakat NU hanya sekedar dijadikan alat untuk melegimitasi realitas, sehingga hampir tidak ada lagi sifat kritis ajaran atau doktrin terhadap realitas, karena ada kritis dan koreksi itu telah berakhir ketika teks-teks fiqih yang dirujuk itu tampil sebagai pemberi legitimasi bagi realitas. Dengan demikian, kaum muda NU tidak segan-segan untuk “mengadopsi” Mu’tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia. Begitu juga, mereka mengolaborasikan doktrin Khawarij, karena madzhab ini dinilai sangat consen mendukung “Revolusi Islam” dan tegas dalam merebut hak-hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka.
Cara pandang seperti itu sebenarnya juga sesuai dengan seruan Ibnu Taimiyah (1263M), salah seorang ulama klasik berlatar belakang madzhab Hambali yang dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang yang beriman harus berusaha sedapat-dapatnya untuk memahami agamanya, dan tidak gampang menyandarkan diri kepada suatu bentuk otoritas. Menurutnya, seseorang yang tanpa kritis mengikuti jejak orang lain adalah termasuk orang masuk dalam kategori orang dari masa kebodohan (jahiliyah) dan karenanya ia tergolong mereka yang terkena kutukan dan siksaanTuhan.7
Berdasarkan uraian pernyataan diatas maka peneliti bermaksud menganalisa dan mengkaji secara mendalam Kontribusi nilai-nilai pendidikan yang tertuang dalam Aswaja menuju masyarakat inklusifisme beragama tersebut.