Halaman

Rabu, 31 Maret 2010

Agar Hidup Lebih Barokah

Agar Hidup Lebih barokah

Download  : http://www.ziddu.com/download/9242706

Senin, 18 Januari 2010

UBUDIYYAH " BID'AH"

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.

Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).

Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:

بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :

نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

« Kembali ke arsip Ubudiyyah | Print| Share

Komentar:
asma menulis:
pusing gue baca artikel ini,gak faham.mbulet.apakah mempelajari islam sesulit ini yak.ato gue yg terlalu awam ttg islam.mohon dipermudah n jangan banyak maen kiasan2. hermawan menulis:
Meskipun saya tidak setuju dengan amalan NU tapi setelahnya saya membaca penjelasan pasal bidah ini saya bisa tahu alasan para kiai melakukan hal-hal yang bukan sunah rosul. Terimakasih. Mudah-mudahan perbedaan itu kan jadi rahmat. muttaqin menulis:
Kenapa mas Hermawan tidak setuju dengan amalan NU?amalan NU mana yang tidak setuju?jangan-jangan hanya karena mas Hermawan ada rasa iri dan dengki sama kyai-kyai NU muttaqin menulis:
Mas asma memang kayaknya sulit bagi kita orang awam. untuk itulah ada beberapa disiplin ilmu dalam islam yang harus dikuasai oleh seseorang/ulama yang mengambil suatu keputusan hukum islam diantara ilmu balaghah atau tata bahasa. tidak asal serampangan dalam mengambil keputusan. kadang orang baru hafal 1 atau 2 hadist sudah berani menghantam madzhab/aliran tertentu bahkan sampai mengina atau mengkafirkan.Untuk kita sebagai orang awam yang bodoh harus mengikuti (taqlid) para ulama yang mumpuni jangan mengambil keputusan berdasar keinginan sendiri. Tri Mzuki menulis:
Asma, ma'af, semoga hati anda jadi lembut, amin. QS. Albaqoroh [2] : 139
Katakanlah:"Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, pdhl DIA adalah Tuhan kami & Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu & hanya kepada Nya kami mengikhlaskan hati Alfan FAza menulis:
Saya heran...kenapa "orang-orang" itu slalu merecoki amaliyah NU.seakan2 mereka sendiri yang bener. dan NU yg paling bi'dah. lucu...kadang malang org-org yg islamnya "islam hijrah" yang suka ngeyel.padahal mereka baru saja mendalami islam. udah deh..lebih selamat .."lakum dinukum waliyadin".
bid'ah....? pemahaman mereka tentang bid'ah sendiri tidak konsisten. tidak mengakui bid'ah hasanah dan sayyiah..tp mengakui bid'ah dunia dan akherat...itu menurut saya malah "mbah"nya bid'ah..
Bravo NU
El-Muhammed menulis:
Jiwa Ragaku Hanya untukmu NU... nur yasin binbas menulis:
Pk yai Nuril.
mengapa anda menghubungkan sifat dengan Khobar. katanya dua sifat? misalnya "kullu bid'atin hasanatin sayyi'atin". kalo ini baru tidak masuk akal, karena dua sifat dalam satu benda.
Sementara hasanah atau sayyi'ah dengan dlolalah adalah sifat dengan khobar. ini kok tidak ada korelasinya. mohon di perjelas. arif menulis:
ya... begitulah mereka, .. hanya ikut ustadnya, ustadz bilang amalan "a" bid'ah kemudian mereka berteriak bid'ah dan seterusnya. padahal dalam setiap tarikan nafas kita selalu ada bid'ah karena kita hidup jauh setelah nabi. Kalo harus dibedakan antara hal muammalah dan aqidah, ya... tidak diciptakan manuasia dan jin kecuali untuk beribadah... dlm segala hal karena yang dunia (muammalah) itu buat bekal perjalanan ke akherat (tujuan akhir aqidah)
Bahkan saya ingat ketika ada ta'lim yang menyampaikan tentang bid'ahnya pemakaian "hisab" untuk menentukan awal bulan ramadhan (karena tidak dicontohkan oleh nabi). padahal penentuan waktu sholat dengan menggunakan ukuran jam sudah diakui oleh seluruh umat islam. khan arloji (jam) adalah teknologi aplikasi dari ilmu hisab. hal-hal seperti itulah yang menunjukkan bahwa kelompok ahli penuduh bid'ah itu sesungguhnya tidak tahu persis makna bid'ah. Muhammad Adlan menulis:
Walau orang diluar NU mengatakan Bid'ah. Tapi karena aku bukan orang yg ahli ,tetap menjalani.Karena aku yakin para Ulama pasti punya pegangan dadang_harun menulis:
Bid'ah seperti yang banyak diungkapkan dan dimasalah oleh berbagai ormas atau perorangan menjadi menghangat dalam dunia Islam, bahkan banyak yang merasa dirinya paling sesuai dengan Qur'an dan sunnah, Padahal menurut pengamatan saya, hampir semua umat muslim di dunia selalu taklid dan melakukan bid'ah, hanya saya tidak tidak tahu mereka melakukan bid'ah yang tercela atau yang baik.
Maka menyimpulkan mari kita cermati dan telusuri kata bid'ah itu, jangan menjadi kata bid'ah merusak ragam khilafiah yang yang di Indonesia, dan marilah kita introspeksi kepada diri kita apa benar kita tidak pernah melakukan prilaku bid;ah selama ini.
Mudah-mudahan komentar saya menjadi pengingat bagi kita untuk berjuang dijalan Allah jangan sampai terjebak oleh hal-hal yang masih interpretaitif. el jamusy menulis:
mas, mbak, udah ndak usah banyak berdebat, wong yang menilai Alloh swt, kalau saya sebagai wong nu ya nderek ulama, ya kalau ada yang tidak sepakat,ya tolong bisa saliNg menghargai ya mas...!KALAU TIDAK SEPAKAT YA JANGAN MENGA MALKAN B. Iswanto menulis:
Yang terpenting kita intorpeksi diri kita apakah itu baik atau jelek untuk kita.
"KARENA BANYAK ORANG MEMBID'AHKAN ORANG LAIN MALAH DIRINYA MEMHANCURKAN SUNNAH" contohnya:
Banyak mimbar-mimbar Rosululloh diganti dengan podium di masjid2 modern. Padahal Podium selalu dipergunakan orang yahudi dan nasrani juga dipakai untuk masalah2 dunia. KENAPA KITA BERKATA BID'AH tapi mimbar rosululloh malah diganti denga podium????? intropeksi dirilah..... ihya menulis:
saya salut atas argument yang di lontarkan oleh mas el-muhammady. mungkin saya disini hanya bisa menambahi dan membumbui apa yang di paparkan secara jelas oleh mbah nuril(maaf pake panggilan "mbah" karena kata ini biasa saya gunakan untuk memanggil orang yang patut saya hormati), kata bid'ah adalah isim dan setiap isim(benda)pasti mempunyai ardh(sifat), nah yang di tekankan oleh mbah nuril adalah mustahilnya dua sifat yang berlawanan berkumpul menjadi sifat satu benda, kata hasanah dan sayyiah adalah dua kata yang tidak mungkin berkumpul dalam satu benda, jadi harus memakai salah satu. berarti akan ada dua kemungkinan(bukan keharusan/kepastian) jelek atau bagus. hal ini menuntut ijtihad para ulama untuk mempertimbangkan segala sesuatu yang baru(bid'ah). oya untuk mas el-muhammady mungkin kita bisa lebih sering ketemu. bravo nu
Adelaine menulis:
Sesama Muslim janganlah saling menghujat.Salahkah aku bila berdiri ditengah?Bisa dijalankan ataupun ditinggalkan Mohammad Furqon menulis:
Ass. saya salut dengan perdebatan argumen para pakar bahasa maupun syari'ah. Tapi apakah perdebatan itu akan menyelesaikan masalah? mungkin cukup kita jelaskan pokok permasalahannya tapi tidak perlu menjustifikasi benar atau salah karena Islam datang dari sumber satu yaitu Allah melalui rosulnya Muhammad. Lakum dinukum waliyadin. ichsan menulis:
semua mementingkan debat. kapan selesainya. tu lihat masih banyak orang mabuk,judi,dan perkosaan. Hamba Alloh menulis:
ya untuk mrangkum smua komentar, maka kesimpulannya jangan menghina kelompok lain. Maka dengan Jihad saya akan mendukung perjuangan dakwah Islam NU sampai mati. Allooooohu akbar............. ahmad menulis:
Bagi orang yg tidak suka dgn amalan/sunnah yg di lakukan NU/aswaja adalah orang merugi, kenapa di bilang rugi? karena bila di ibaratkan dengan kerja amalan merupakan tambahan(lembur) pahala wat orang yg suka dan menjalankannnya , kan jd banyak pahala kita ... amiieeeen...

ASWAJA DAN PETA PEMIKIRAN ISLAM

Pendahuluan



Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah) sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup. Wacana penyegaran pemahamanan keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.

Hal ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan (konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama yang mereka anut dari panggung kehidupan materialistik.[2]

Sebagai bukti dari dinamika progresif yang terdapat dalam Islam ini, adalah dari larisnya wacana-wacana keislaman yang diangkat baik dalam skup nasional ataupun internasional, yang dijelmakan ke dalam ruang aktualisasi gagasan dan karya, baik buku, jurnal, institusi, seminar, pelatihan dan lain-lain. Wacana yang diangkat pun sangat beragam dari mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, dari yang paling fundamentalis sampai yang liberal. Seluruhnya membentuk siklus pencerahan yang berangkat dari misi mengembalikan Islam sebagai sebuah agama yang mampu menjadi solusi masa kini dan juga masa depan, dan nampaknnya tidak ada yang meyempalkan wacananya dari sumber otentik al-kitab dan sunnah.

Dari sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran dalam menerima berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha luas.



Aswaja dan Klaim Keselamatan



Munculnya Aswaja sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi sosio-politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ketiga hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.) aswaja sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.

Sebelumnya di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah yang menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.

Kemudian setelah Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.

Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.[3]

Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”.[4]

Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.

Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), atau as-Sahrasthani (w. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) lebih memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap “sempalan” sampai pas mencapai 72 kelompok dan hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.

Contohnya, dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq, tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada. Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7 pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya; tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka tertera).[5]

Terlepas dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. [6] Sementara sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah Waljamaah ketimbang yang lainnya. [7]

Bagi saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah, Syi’ah, Ahlu Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan atau kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi. Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.

Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalam persoalan aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”, mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan syariat yang dimiliki oleh Islam.



Aswaja-NU: Sebuah Pengenalan Singkat



Adapun Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.

Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.

Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).

Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8] Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.

Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah Waljamaah. [9]

Di luar pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[10]

Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang.

NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[11]

Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).

Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.



ASWAJA dan Problematika Kemanusiaan Masa Depan



Ideologi apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya saat ini perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batas-batas teologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich. Seiring dengan proses tentu metode ini akan terus melakukan evolusinya ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula dengan pemahaman umat dalam melakukan penyelarasan faktualnya.

Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan Nahdhiyin-, langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderasi dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut. Seberapa besar pola pikir (mind-sett) mazdahib baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan). Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.

Mengingat tantangan kemanusiaan yang teramat mendesak, yang menjadi agenda prioritas (pergerakan) Aswaja di masa depan adalah, pencarian kembali makna dan tujuan hidup (sense of meaning and purpose), sehingga Aswaja dapat difungsikan kembali sebagai guidance menuju realitas kesejarahan manusia yang hakiki.

Dari peta sosiologi modernisasi jelas, bahwa akar pesoalan manusia modern adalah penemuan kembali sistem makna yang dapat membebaskan dirinya dari segala macam bentuk determinisme yang terdapat dalam pranata-pranata modern. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teologi dalam makna historisnya sebagai sarana pembebasan.

Teologi yang membebaskan adalah yang berpusat pada manusia dan kekuatannya, atau humanistic Theology. Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan akalnya agar dapat memahami dirinya, hubungannya dengan sesamanya dan kedudukannya di alam ini. Dia harus mengenal kebenaran, dengan melihat pada keterbatasan maupun potensinya. Dia juga harus mengembangkan rasa cinta pada orang lain maupun pada dirinya serta merasakan solidaritas pada semua kehidupan. Dia juga harus mempunyai prinsip dan norma untuk mengarahkan tujuannya sendiri.

Upaya menghadirkan teologi yang humanistik, dan sebaliknya menghindari dari teologi yang otoritarian, sesungguhnya lebih mencerminkan sebagai persoalan epistemologi. Artinya, lebih banyak disebabkan oleh faktor interpretasi dari masing-masing penganut teologi. Letak permasalahannya kemudian adalah “bukan pada teologi apa, tetapi berteologi yang bagaimana.”

Dalam persfektif Islam misalnya, makna pembebasan teologi terletak pada ajaran tauhid. Implikasi pembebasan atau efek pembebasan tidak hanya dalam konteks tauhidullah dalam pengertian pembebabasan dari semua ikatan ketuhanan yang absurd dan otoritarianistik. Tapi, pembebasan dari semua struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang cenderung menjadi determinan bagi kemerdekaan manusia.

Dalam diskursus teologi Islam ini, efek pembebasan tauhid mengalami reduksianisasi seperti dalam teologi Jabariah, Murjiah, serta teologi sejenis yang sudah berkolaborasi dengan kemapanan struktur politik. Artinya, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang serba mengatur hidup manusia.

Agaknya persoalan di atas merupakan agenda intelektual bagi kalangan Aswaja ke depan. Ini dapat dilakukan dengan mula-mula menghadirkan rancang bangun teologi Aswaja sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan dan terjebak pada status quo. Karena itu perlu dikembangkan suatu pemikiran yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan penafsiran baru pula. Aswaja tidak boleh berhenti sebatas metode berpikir (manhaj al-fikr) lagi, tetapi sudah harus menginspirasikan sebuah kebangkitan melalui metode berkarya (manhaj al-‘amal). Dengan metode berkarya inilah Aswaja akan dirasakan manfaatnya, karena keberadaannya tidak lagi mengawang di langit, namun telah bersenyawa dengan kebutuhan manusia dan hidup di tengah realitas yang dinamik.



Penutup



Demikian pengantar tentang Aswaja dan pergulatannya dengan kondisi kemunculannya dahulu dan perannya di masa kini. Semoga dapat menambah wawasan rekan-rekan para peserta pelatihan. Yang penulis paparkan hanyalah sebatas garis besarnya saja, dan hampir tidak menyebutkan secara rinci pokok-pokok pikiran dan gagasan Aswaja baik dalam ruang lingkup teologi klasik maupun dalam institusi NU. Karena hal tersebut dapat sangat mudah kita temukan dalam banyak literatur yang ada. Ibarat peta, yang penulis ketengahkan hanya sebatas jalan-jalan besarnya saja, adapun gang, jalan tikus, dan sungai serta selokannya tidak menjadi sorotan penulis. Semoga diskusi tentang Aswaja secara lebih lengkap dan kontekstual dapat terus berlanjut.

Jakarta, 17 Agustus 2008

[1] Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana di International Islamic University (IIU) Islamabad jurusan Syari’ah and Law, aktif di PCI-NU Pakistan sebagai Ketua Tanfidziyah periode 2005-2007 dan Direktur Forum Studi ke-Indonesiaan (FSI) PPMI Pakistan sampai sekarang.

[2] Baca serpihan sejarah lahirnya ide sekularisme yang berawal dari ketidakpercayaan umat Kristiani terhadap doktrin-doktrin Gereja sebagai pemegang otoritas agama-negara pada abad pertengahan. Di mana uapaya penyegaran pemahaman keagamaan tidak memperkuat ofensifitas umat Kristian bagi besarnya peran agama atas kehidupan duniawi, melainkan malah menyingkirkannya. Lihat: Ibrahim Mabrook, Haqîqatu al-‘Ilmâniŷah wa al-Shirâ’ baina al-Islâmiŷin wa al-‘Ilmâniŷin, (Beirut: Daar Fikr, 2003).

[3] Abdul Qâhir al-Jurjâni, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: Daar Afâq al-Jadîda, tt), hlm. 6.

[4] Hadits riwayat Abu Hurairah RA, dikeluarkan dalam kitab ‘Aunul Ma’bủd Syarhu Sunani Abi Dawủd, (Madina: Maktaba as-Salafiŷah), Juz 12, hlm. 340.

[5] Muhammad al-Musayyar, Qhadiŷatu at-Takfîr fi al-Fikri al-Islâmy, (Kairo:Dâr-Thibâ’a al-Muhammadiŷa), cet ke-1, hlm. 102.

[6] As-Syeikh Muhammad Abduh baina al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah, (Kairo: Mathba’a Halaby), Jilid 1, hlm. 29.

[7] Lihat: Hasan Hanafi, Mina al-Aqîdah ila as-Tsaurah, (Kairo: Maktaba Madbuli), Juz 5, hlm. 643.

[8] Lihat: Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI, 2008), hlm. 114.

[9] KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 29.

[10] KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah waljamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm 4.

[11] Adien Jauharuddin, op. cit., hlm. 98.


-----------------------------

Tambahan Materi:

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja
30/03/2009

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

Selasa, 05 Januari 2010

ASWAJA SEBAGAI JAWABAN DINAMIKA KEHIDUPAN

A. Aswaja Sebagai Paradigma
Doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) saat ini berhadapan dengan perubahan masyarakat yang sangat cepat. Rumusan doktrin yang selama ini menjadi acuan bagi mayoritas umat Islam dalam beragama, terutama kaum Nahdliyin tidak mampu lagi mengakomodir perubahan yang terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi di era yang global ini tidak mampu lagi di baca dalam kerangka rumusan doktrin lama, keenderungan pemahaman agama secara tradisional agaknya sudah kurang mampu berbicara. Pemahaman secara tekstual tidak lagi memuaskan. Maka yang diperlukan adalah pemahaman yang bersifat kontekstual.
Reinterprestasi dokrtin Aswaja sudah seharusnya dilakukan. Salah satu pemahaman ulang tersebut adalah dengan merujuk kembali sejarah awal reformasi atau pembentukan doktrin ini. Dengan merujuk ke sejarah awal, yang telah kita bahas diatas akan terlihat situasi kreatif masyarakat dimana perbincangan secara cerdas.
Tampak sekali bahwa doktrin Aswaja sebenarnya berwatak plural, tidak tunggal. Bahkan sejarah lahirnya paham akidah Aswaja sebenarnya dilahirkan oleh tiga tokoh kenamaan yaitu, Imam al-Asy’ari di Barsah, Imam al-Maturidi di Samarkand dan Imam al-Tahawi di Mesir.11
Proses terbentuknya paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah membutuhkan jangka waktu yang panjang. Pengertian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah sebagai sebuah aliran pemikiran (school of thought) tidak serta merta dan terbentuk menjadi baku. Sejarah menunjukan bahwa pemikiran keagamaan Sunni dalam bidang teologi, hukum, Tasawuf dan politik tidak terbentuk dalam satu masa melainkan dalam waktu yang berbeda-beda. Masing-masing bidang tersebut di formulasikan oleh para ulama yang hidup pada masa yang berbeda pula. Dengan demikian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, memahami Aswaja sebagai akumulasi doktrin keagamaan yang bertumpu pada rumusan al-usus al-thalathah fi al-I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah di bidang hukum(fiqh) Tasawuf dan tauhid.12
Selama ini, yang kita ketahui tentang Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah madzhab yang :
- Dalam akidah, mengikuti slah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
- Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu Imam empat : Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad al-Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
- Dan dalam ber-tashawwuf mengikuti salah satu dua Imam: Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
Itulah yang ditulis oleh Hadlratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi dan setiap Muktamar NU disampaikan oleh Rais Aam sebagai sambutan pokok.
Kalau kita mempelajari Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah dengan sebenar-benarnya, batasan seprti itu, tampak begitu simple dan sederhana. Sebab, pengertian tersebut merupakan definisi yang sangat ekslusif.
Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab. Aswaja hanyalah Manhaj a-fiqr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para Sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapisituasi politik ketika itu.
Meski demikian, bukan berarti Aswaja dalam kedudukannya sebagai manhaj al-fiqr sekalipun tapi merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio-politik yang melingkupinya.13
Formulasi baru Aswaja, mengimplikasikan format atau corak yang sama sekali berbeda dengan rumusan definitif Aswaja yang dipahami selama ini dalam konteks “ber-fiqh”, pergeseran pemahaman akan terlihat cukup tajam diantara generasi yang meletakan fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi”, dan generasi yang meletakan fiqih sebagai paradigma “interprestasi sosial”, oleh karena itu, apabila dalam satu generasi yang selalu menundukan realitas pada kebenaran fiqih, dan generasi berikutnya akan sangat mungkin menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara drama sosial yang tengah berlangsung.
Pandangan fiqih sebagai “interprestasi sosial” dengan paradigma fiqh-nya terdapat lima ciri yang menonjol, yaitu :
1. Selalu diupayakan interprestasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteks-nya yang baru.
2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara ekstual (madzhab qauli) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji).
3. Verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu).
4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
5. Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial budaya.
Dari kelima ciri paradigma ber-fiqh tersebut merupakan paradigma yang fundamentalis dan strategis, seperti ditegaskan oleh Abdurrahman Wahid (GusDur) bahwa pentingnya madzhab manhaji inilah-jalan masuk untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam setting tranformasi sosial. Ekonomi politik maupun budaya menjadi terbuka lebar.14
Di satu sisi generasi yang memahami fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” dengan devinisi madzhab qauli sebagaimana disebutkan diatas bahwa sebagaian generasi tersebut masih mempertahankan rumusan tersebut. Rumusa Aswaja yang demikian ini, oleh sebagian tokoh NU seperti K.H Abdurrahman Wahid dan Said Agil Siradj mulai mempertanyakan relevansinya dan vitalitasnya. Sebab daam dataran empirik, pemahaman Aswaja seperti diatas disamping membatasi, juga membelenggu kreatifitas berpikir. Dalam pandangan K.H Abdurrahman Wahid, formulasi pemahaman Aswaja tersebut perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih mendasar melalui dua kerja utama : Pertama, dengan mengadakan pengkajian aspek kesejarahan pertumbuhan Aswaja, sehingga pemahaman terhadapnya ridak tercerabut dari akar historisnya. Kedua, perlunya perumusan dasar-dasar umum kehidupan masyarakat di kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah dalam berbagai kehidupan pada kerangka operasionalnya.15
B. Islam Inklusif Sebuah Metode
Islam dewasa ini menjadi agama yang paling banyak diperdebatkan. Sebagai orang yang berpikir, Islam mencetak fanatisme dan kekerasa. Sebagian orang juga menegaskan bahwa Islam adalah agama damai dan memiliki daya pikat spiritual yang dalam. Banyak orang beranggapan bahwa Islam adalah agama pendorong teror, dan sementara pihak lain tidak kurang banyak orang yang menyakini Islam sebagai agama yang memberikan ketenangan batin dan kearifan, orang-orang merasa Islam sebagai agama tidak mengizinkan perubahan, status quo, dan mempertahankan tradisi abad pertengahan.sedang beberapa orang lainnya melihat Islam sebagai agama keadilan, emansipasi, persamaan hak, dan agama paling bisa didekati dengan kemajuan (paling modern). Bagi sebagian orang, Islam dianggap anti wanita dan menginjak-injak hak-haknya, namun sebagian yang lain, Islam muncul jelas-jelas untuk mempertegas emansipasi dan kesetaraan.
Lantas kesimpulan apa, setiap orang melihat Islam dari sudut yang diinginkan, tidak diragukan lagi, terdapat sejumlah pendekatan Islam yang berbeda-beda dan orang berusaha melihat refleksi pendekatan dirinya dalam Islam. Namun, jika kita menelusuri teks-teks al-Qur’an, tidak akan ditemukan dukungan untuk anggapan status quo tersebut.
Memang anggapan yang tidak salah bahwa prilaku muslim jauh dari yang diharapkan. Banyak muslim menggunakan kekerasan sebagai kewajiban agama dan menyebutnya sebagai jihad, tunduk pada pemikiran abad pertengahan, menolak perubahan, menganggap demokrasi sebagai hal tidak layak, menindas hak-hak wanita. Bagaimana melampaui keadaan yang ada dan cara merubah masyarakat, prilaku Nabi, singkatnya transformatif dan reformasi.
Perlu diingat bahwa keadilan yang terjadi dimasa lampu, belum pasti sebagai adil di masa sekarang. Konsep keadilan tidak akan berubah, tetapi norma keadilan sebaliknya. Konsep keadilan tidak dapat diukur dengan norma keadilan yang melekat pada masyarakat tertentu. 16
Kemajemukan sudah merambah hampir semua sektor kehidupan manusia, mulai dari sektor ekonomi, politik, sosial budaya hingga agama. Kemajuan informasi yang ditunjang kecanggihan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) telah merobek batas-batas negara, menerobos dengan leluasa di dinding budaya, dan membentangkan jaringan hubungan antar bangsa menjadi lebih dekat dan lebih kuat. Tidak satu budaya pun yang murni tanpa dipengaruhi oleh budaya lain. Demikian juga, hampir satu madzhab pun dalam suatu agama yang tidak diinterfensi oleh tradisi dan pemikiran madzhab lain.17
Dinamika diatas menjadi hal yang perlu disikapi dalam rangka mencari formulasi yang efektif untuk memahami Islam ditengah derasnya tantangan dan pengaruh-pengaruhnya.
Pengertian Agama
Menurut Umarudin Masdar, agama adalah kepercayaan individu kepada Tuhan, Zat yang Maha segalanya : Maha Agung, Maha Kuasa, Mahas Besar, maha Indah, Maha Pengasih, Maha Penyayang diatas segalanya. Dengan kata lain agama adalah keyakinan dan sekaligus kepercayaan manusia kepada Yang Maha segalanya, yang menguasai bumi dn segala isinya, dan ia sendiri tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya. Karena agama adalah kepercayaan individu yang otonom kepada Tuhan, maka setiap orang yang percaya bahwa ada Keukuatan dan Kekuasaan yang tidak meungkin dijangkau oleh manusia yang Menguasai Alam seisinya, dia sudah beragama.
Sebagai keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan, agama adalah iman itu sendiri. Namun sebagai sebuah ajaran dan perilaku simbolik, agama adalah cara atau jalan (syari’ah) untuk menterjemahkan iman yang transhistoris ke dalam amal perbuatan baik yang bersifat historis;atau amal soleh.
Pada dasarnya tidak ada orang yang tidak beragama. Tidak ada orang yang ateis. Tokoh dunia yang sering disebut ateis adalah Karl Marx. Marx memang pernah mengatakan bahwa agama itu candu yang dapat meracuni mansuia, namun apa yang dikatakan Marx sepenuhnya merupakan kritik terhadap agama ketika ia merasa terpanggil untuk membela kaum tertindas. Ketika itu, agama-melalui elitnya – justru ikut melestarikan ketertindasan struktural manusia. Para elit agama telah bekerja sama degan para penguasa tiran penindasan rakyat. Dalam ketertindasan itu, agama yang ditawarkan sebagai eskapismen (pelarian), yaitu kebahagiaan di akhirat dan melupakan ketertindasan dunia.
Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk terbaik (ahsan takwim), memiliki kekurangan dialektis sehingga ia akan selalu belajar sepanjang hayat untuk untuk menutup kekurangannya.
Dalam al-Qur’an telah disebutkan bahwa manusia telah terikat “perjanjian promordial” dengan Tuhan, setiap manusia pasti ber-Agama.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhdap jiwa mereka (seraya berfirman); “Bukanlah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”, (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan; Sesungguhnya kami (anak cucu adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A-raaf (7):172).

Karena itu, setiap anak yang dilahirkan adalah suci dari asalnya (fitrah), yaitu dalam keadaan terikat dengan “perjanjian primordial” itu, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
“ Setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci”.
Lingkungan dan orang tualah yang kemudian menjadikannya beragama Islam atau beragama lain. Orang tua dan lingkunganlah juga yang menumbuhkannya menjadi seorang NU atau Muhammadiyah.18
Islam, dengan pendekatan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan, merupakan agama yang paling modern dan cocok untuk abad ke-21. Namun jalan yang dipraktikkan umat Islam di seluruh penjuru dunia yang menjadikan Non-muslim merasa dalah seoalah agama konservatif dan fundamentalis.
Islam, sebagaimana kita pahami, adalah agama yang paling membebaskan di abad 21. Dewasa ini , filosof sosio politik menekankan kuat-kuat konsep kebebasan, khususnya kebebasan berkehendak. Ini adalah bagian dari deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Al-Qur’an menerima kesadaran hak kebebasan dalam ayat : la ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam beragama). Kata dien disini mempunyai makna yang sangat luas, ayat ini menyimbolkan kebebasan hati nurani, sebagaimana dipahami bahwa agama adalah hal fundamental tentang perkara ungkapan hati. Dan pada zaman pra-Islam, tidak muncul persoalan tentang kebebasan orang untuk merubah agamanya berdasarkan orang untuk merubah agamanya berdasarkan kata hati. Ini adalah perkara dimana dunia pos-modern masih memperjuangkannya, sekali lagi, titik tekannya adalah pada berbuat kebaikan dan prilaku pada berorientasi pada nilai. Perilaku semacam ini yang akan mentranformasikan dunia menjadi sebuah surga.
Terdapat banyak jalan hidup, arah berbeda dimana tiap orang berbeda bahasa, ras, kebangsaan, suku dan kebudayaan. Semua itu telah diciptakan oleh Allah dan untuk menambah berwarna kehidupan. Kita harus menghormati perbedaan ini dibanding berselisih dalam upaya untuk memperkokoh superioritas yang satu atas lainnya. Hal demikian hanya akan mengakibatkan kekerasan dan konflik. Lebih lanjut disebutkan dalam al-Quran :
“Bukanlah mengedaepankan wajahmu ke arah timur dan barat itu seuatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir 9yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendidirkan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar Iimannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al Baqarah: 177)

kultur intelektual dan perilaku etika adalah dua indikator paling penting dari manusia untuk lebih hidup dan menghantarkan ke kehidupan dari manusia untuk yang lebih berarti.19
Radikalisme Agama dan Kerukunan Umat Beragama
Islam Teror, Islam Terteror: Kritik Wajah Islam Pasca Tragedi WTC tragedi 11 September yang melumatkan gedung kembar WTC dan sebagian sisi gedung Pantagon yang secara langsung dialami oleh negeri Paman Sam, AS, tak urung telah menjadi teror seluruh dunia. Dunia yang semula tertidur lelap, sontak terbangun dan kini terus menerus berada dalam kekhawatiran dan kecemasan akan terjadinya hal serupa. Tak terkecuali Indonesia yang kondisinya diperparah dengan tragedi peledakan bom di Bali yang meluluh lantakan sederetan café-café dan menewaskan banyak manusia yang tidak berdosa.
Tragedi tersebut menjadi pemicu Indoneisa untuk membangun sinergis mewaspadai dan menghadapai ancaman terorisme karena dampaknya begitu besar bagi stabilitas nasional dan terutama bagi kemanusiaan. Dalam pemberantasan terorisme baik yang bersifat unilateral maupun yang multilateral, nasional maupun internasional cenderung mengidentikkan aksi-aksi tersebut dengan kelompok-kelompok Islam radikal, ekstrim, fundamentalis, militan dan sederetan stigmatisasi lain yang serupa, sehingga sebagai publik dunia menganggap Islam sebagai agama teroris. Pencintraan inilah yang menusuk jantung umat Islam seluruh dunia, tanpa mereka menyadari bahwa aksi-aksi terorisme dapat terjadi dimanapun dan oleh siapapun.
Menurut Davit Little (1996), ada empat tipe militansi agama:intoleransi dengan kekerasan (violent tolerance), intolerasi beradab (civic intolerance), toleransi tanpa kekerasan (nonviolent tolerance), dan toleransi beradab (civic tolerance). Militansi yang toleran berarti menghadapi atau memperlakukan the other yang dianggap menyimpang tanpa intervensi pemaksaan. Sebaliknya, militansi yang tidak toleran cenderung tiedak sabar dan tidak mampu menahan nafsu amarahnya.
Dilihat dari varian-varian itu, tipe pertama memakai kekerasan paksa (forcible ction), sering melibatkan perwujudan dan suci atas makna keharusan dan emergensi publik, serta mendefinisikan the other berhak hancur demi penegasan diri sebagai satu-satunya yang berhak eksis dan lestari. Dengan demikian, gerakan Islam garis keras tidak selamanya identik dengan teroris.
Menurut KH. Hasyim Muzadi, “Orang Islam yang berwawasan keras, kalau dikerasanya sendiri, berarti tidak ada hubungannya dengan teroris. Ini baru disebut teroris kalu dia berbuat destruktif di luar dirinya”. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara kelompok militan agama yang memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan tergerk mengatasinya dengan dalil amar ma’ruf nahi minkar dengan kelompok ,militan yang memang menggunakan teror dan kekerasan sebagai instrumen perjuangannya, sebagai wujud adalah praktek agama yang mudah menjadi alat mencapai tujuan politik dengan cara kekerasan.
Hal ini terjadi dikarenakan cara pendang yang hitam putih dengan membagi dunia dengan dua kategori, yaitu Dar al Harb (negeri non muslim, atau perang) dan Dar al Islam (negeri Islam). Daerah yang dianggap sebagai yaitu Dar al Harb (negeri non muslim, atau perang) dan Dar al Islam dijadikan sebagai sasaran ekspansi dan penundukan. (desentara) inilah yang oleh Prof. Bernard Lewis, sidebut sebagai the cosmic clash: benturan cosmis yang dualis, kebaikan dan keburukan, terang dan gelap, tertib dan chaos, kebenaran dan kepalsuan, Tuhan dan lawan-Nya yang dikenal dengan setan, iblis dan sebangsanya.
Dengan kerangka paradigma sperti inilah, dikalangan umat Islam tercipta rumusan keyakinan teologis yang menyatakan bahwa AS adalah sebagai simbol kejahatan besar, begitu juga sebaliknya, dimana AS mengangkat kasus terorisme ini semula sebagai kasus kriminal politik kemudian kemudian diperkeruh dengan bahasa agama seperti Crussade (perang salib) yang dilontarkan oleh presiden Bush, oleh karena itu, satu sisi sentimen anti Amerika dikalangan umat Islam semakin menguat, hal ini yang disebut dengan the cosmic clash.
Hal tersebut dapat dilacak dari doktrin-doktrin mereka yang kemudian dimanifestasikan dalam tindakan konkrit :
1. Kaum militan melihat Islam sebagai agama yang tunggal, benar dan sempurna, yang menegasikan agama yang lain. Dari sini mereka beranggapan bahwa semua non muslim adalah kafir dan harus dipaksa masuk Islam, walaupun dengan kekuatan (jihad atau perang suci).
2. Kaum militan mempertahankan keyakinan bahwa politik dalah bagian dari Islam tanpa mengklarifikasikan apakah Islam yang dimaksud adalah iman ataukah sejarah Islam secara umum.
3. Kaum militan memandang bahwa tindakan penguasa sebagai tindakan Tuhan. Idelologi ini ditanamkan kepada massa yang naif dan tidak berpendidikan.
4. Kaum militan tidak memandang Islam sebagai iman tetapi lebih dari nasionalisme. Kaum militan menyakini bahwa kesetiaan dan penyerahan diri kepada bangsa Islam, dengan menempatkannya di atas yang lain dan menekankan promosi budaya dan kepentingan Islam sebagaimana dipertentangkan dengan kepentingan bangsa dan bangsa-bangsa lain, adalah suatu given. Dan orang yang meyakini sebaliknya dianggap kafir dan ateis.
5. Tujuan utama kelompok militan dalah penerapan hukum Islam. Adalah tugas umat Islam, menurut kaum militan, untuk tidak mematuhi setiap hukum selain hukum Islam.
6. Kaum militan meyakini bahwa jihad atau perang suci adalah kewajiban agama yang paling tertinggi. Karena kaum militan meyakini secara salah bahwa jalan dan risalah Muhammad telah menghapus jalan-jalan yang lain (katakanlah kristen, yahudi), mereka mempertahankan pendangan bahwa jihad berarti memaksakan Islam kepada orang-orang kafir disetiap waktu dan tempat, memaksa mereka ke jalan yang lurus dan sejati.
7. Kaum militan dikenal atas upaya mereka untuk mendorong segregasi agama dan perjuangan sektarian. Kaum militan menyakini bahwa setiap orang harus tinggal di dalam komunitasnya sendiri dan melarang hubungan timbal balik antara Muslim dengan non muslim.
Dari tujuh doktrin tersebut dapat dikatakan sebagai gerakan militan yang dapat mengancam bahaya bagi kemanusiaan, perdamaian dan peradaban bahkan meruntuhkan Islam itu sendiri. Bagi gerakan militan ini bagaimana memahami arti jihad dengan sesuai literer, lain halnya apabila konsep jihad tersebut dipahami dan dibaca dengan Islam secara kontekstual dan inklusif niscaya kesan akan berbeda.20
Terorisme telah mencitrakan patut disayangkan, bahkan jaringan Al-Qaida yang dituduh sebagai dalang terorisme dianggap telah menemukan tempat yang nyamandi negeri ini, sehingga dengan mudah , Indonesia dicitrakan , bahkan dituduh sebagai sarang terorisme.
Peran negara seperti Indonesia dinilai sangat urgen dalam rangka mempertemukan asumsi dan persepsi masyarakat dalam rangka mempertahankan pluralitas bangsa demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa dan selalu terjaga stabilitas nasional.
Dalam hal ini Indonesia mengupayakan tercitanya kondusifitas berbangsa dan beragama dengan masyarakat pluralistik yang penuh menyimpan keberagaman agama, tradisi, kesenian, kebudayaan, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis bangsa Indonesia.
Sejauh menyangkut masalah agama , agama telah meletakan dasar-dasar konstitusional yang kuat dengan memberikan jaminan dan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing. Hal ini secara jelas telah tertuang di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi :
“ Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”

Dalam GBHN juga disebutkan sebagai perhatian dan kepedulian untuk membina kerukunan umat beragama sebagai salah satu tujuan pembangunan jangka panjang kedua (PJP II).
” Tercapainya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh keimanan dan ketakwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar dan antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan pancasila”.

Tujuan diatas dipertegas kembali dalam Bab IV GBHN 1993 ketika membicarakan secara khusus tentang kebijakan dan sasaran pembangunan lima tahun keenam. Sasaran pembangunan lima tahun keenam di bidang agama (terkait di dalamnya kerukunan antar umat beragama) dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai berikut :
“ Penataan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang harmonis, yang tercermin dalam makin meningkatnya keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, makin meningkatnya peran serta umat dalam pembangunan melalui pendidikan di lingkungan keluarga, dimasyarakat dan di sekolah, bersamaan dengan perluasan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan untuk menunaikan ibadah masing-masing.

Pluralitas kehidupan bangsa Indonesia juga menjadi bahan kajian oleh para tokoh antropologi, salah satunya adalah oleh Hildred Geertz menggambarkan keberagaman kehidupan bangsa Indonesia sebagai berikut :
“ Terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang berbeda-beda di Indonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas budayanya sendiri-sendiri, lebih dari duar ratus lima puluh bahasa yang berbeda-beda di pakai …. hampir semua agama besar dunia diwakili, selain agama-agama asli yang jumlahnya banyak sekali ”.

Kepedulian tersebut juga muncul di kalangan agamawan dan pakar ahli perbandingan agama, mereka saling mengeluarkan gagasan-gagsannya untuk membina pluralitas bangsa.
Pertama, dengan jelas sinkretisme. Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari keberadaan (zat), sebagai pencarian dari Terang Asli yang satu, sebagai ungkapan dari substansi yang satu, dan sebagai ombak dari Samudra yang satu.
Kedua. Dengan jelas jalan rekonsepsi. Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka konfrontasinya dengan agama-agama yang lain.
Ketiga. Dengan jelas sintesis. Yakni menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama-agama lain.
Keempat. Dengan jelas penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa agama sendirilah yang benar, sedang agama-agama yang orang lain adalah salah, seraya berupaya keras agar para pengikut agama lain itu memeluk agamanya.
Kelima. Dengan jelas atau pendekatan setuju dalam perbedaan. Gagasan ini menekankan bahwa agama yang ia anut itulah agama yang baik, walaupun adama yang satu dengan agama yang lain masing-masing memiliki perbedaan dan kesamaan.
Dari kelima pendekatan diatas, Ali Mufti memberikan tanggapan, pendekatan yang ke limalah yang cocok untuk dikembangkan dalam membina toleransi dan kerukunan beragama. Sikap seperti ini akan membawa kepada terciptanya sikap “setuju dalam perbedaan” yang sangat diperlukan untuk membina dan mengembangkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Hal ini juga mencerminkan dengan pendekatan yang diterapkan oleh Wali Songo dalam mengembangkan Islam di Indonesia yakni disiarkan dengan cara persuasif dan damai sebagaimana ditunjukan oleh cara-cara dakwah yang ditempuh oleh para wali songo. Dengan pendekatan kultural edukatif berari bahwa Islam disiarkan dengan benar-benar melarang cara-cara paksaan dan kekerasan.21
Semisal dalam konteks ajaran Islam, dapat ditarik dua hal yang meunutut untuk tetap taat kepada perintah-perintah-Nya, yakni, Pertama, Upaya memahami ajaran Islam yang sesuai dengan kehendak-Nya dan sekaligus bisa menjawab tuntutan realitas umat. Kedua, sebagai konsekwensi dari yang pertama, umat Islam selalu dihadapkan pada tarik-menarik antara dua kutub ekstrim berupa wahyu yang tidak pernah berubah dan realitas sosial yang cenderung berubah.
Dala konteks ini sejarah menunjukan bahwa umat Islam selalu berusaha memahami inti pesan wahyu Allah dalam rangka menjawab persoalan umat yang cenderung berubah, dan hal ini telah melahirkan sejumlah tawaran, baik di dataran teori dan metedologi (ushul fiqh) maupun aplikasinya(al-fiqh).
C. Eksistensi Aswaja di Tengah Era Modern
Sudah menjadi faka sejarah bahwa agama Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat diketahui dari kekayaan aneka ragam seni, budaya dan pemikiran dari para pemikir muslim. Wacana intelektual itu terus berjalan untuk merespons atau reaksi terhadap perubahan zaman engan segala psang surutnya. Wacana intelektual Islam yang kadang-kadang muncul secara kreatif ketika menghadapi tantangan yang cukup rumit teapi juga pernah mengalami masa yang agak kering. Para sejarawan telah berusaha mencari latar belakang dan sebab pasang surutnya kreatifitas intelektual itu dengan menfokuskan pada satu sisi sebagai penyebab utama. Tapi, hasil analisis mereka menyatakan, tidak ada satu-satunya sebab yang harus disalahkan sebagai bentuk tanggung jawab atas kemacetan tersebut. Kiranya berbagai faktor yang saling berkaitan.
Dalam masyarakat Islam, Ahlussunah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal sebagai gerakan yang secara konstitusional ingin membela dan mempertahankan Aswaja adalah Nahdlatul Ulama. Adapun Muhammadiyah secara implisit mengakui idiologi “Áswaja”. Ini dapat diketahui dari salah satu keputusan Majlis Tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang “Iman” merupakan akidah Ahlul Haq Wassunah. Gerakan puritanis. Persatuan Islam (Persis), mengakui lebih berhak menyandang sebutan Ahlussunah Wal Jama’ah dengan alasan tidak bermadzhab. Karena itu, NU menurut mereka tidak bisa disebut sebagai Ahlussunah Wal Jama’ah.
Kalangan Persatuan Tarbiyah (Perti) merumuskan Aswaja tidak jauh berbeda dengan kalangan NU, dengan rumusan yang lebih ketat, karena cenderung untuk “menyesatkan” kalangan pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi. Sedangkan rumusan Aswaja Miftakhul Anwar, secara ensensial juga tidak berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat mengakomodir penganut Ibnu Taimiyah dan Wahabi masuk dalam Aswaja. Perbincangan dan wacana intelektual diatas, menunjukan bahwa betapa Aswaja diyakini oleh berbagai kelompok, sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat dalam Islam (al-firqah al-najiyah). Dan Aswaja telah dipahami dengan pengertian yang beraneka ragam oleh berbagai kelompok dan gerakan Islam.22
Terlepas dari berbagai kelompok yang mengatasnamakan sebagai pengikut Aswaja diatas, dalam sekala yang lebih besar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era modern sekarang ini telah menanamkan pengaruhnya begitu besar dan luas dalam sisten berpikir dan prilaku yang berkaitan dengan masalah-masalah teologi (keyakinan/aqidah) dan dialektika agama.
Membahas eksistensi Aswaja tak lepas dari sosok NU sebagai kelompok yang membela dan memperjuangkan eksistensi Aswaja dalam kondisi apapun sebagai kerangka analisis sosial. Dalam kaitannya dengan proses globalisasi yang secara dominan ditentukan oleh Barat dewasa ini dalah topik yang baru dan sekaligus merupakan tugas yang berat. Dewasa ini tampaknya belum ada literatur-literatur yang tertulis secara serius yang dapat dibuat sebagai bahan rujukan sebagai titik tolak acuan untuk mengkaji sikap NU dalam menghadapi isu-isu globalisasi.
Istilah globalsiasi akhir-akhir ini sering dipakai sebgai suatu ciri untuk menandai gerak laju modernitas yang semakin cepat, radikal dan dahsyat. Duni Barat, yang memegang kendali supermasi di bidang kemajuan sains dan teknologi, merupakan pusat yang secara dominan menyebarkan proses globalisasi itu, Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai perkembangan-perkembangan yang cepat di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang dapat membawa bagian-bagian dunia yang paling jauh terpencil sekalipun ke dalam suatu jangkauan yang mudah.
Dengan demikian, globalisasi telah menyebabkan semakin menyempitnya dunia ini dan semakin dekatnya jarak antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia yang lain. Dipercanggih dengan kemajuan-kemajuan spektakuler di bidang teknologi informasi komunikasi,transportasi dan komunikasi, globalisasi telah membuat dunia terasa semakin mengecil dan menyempit seperti sebuah perkampungan. Akibat globalisasi, peristiwa-peristiwa yang terjadi di salah satu belahan dunia dapat didengar dan diketahui dalam sekejap oleh orang-orang yang menghuni belahan dunia lain.
Perihal globalisasi, selain dari tatanan bahasa, globalisasi juga sebagai konsep dicetuskannya oleh berbagai tatanan lain yang saling terkait, seperti ekonomi, politik-idiologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Sebagai pengertian ekonomi, globalisasi berarti proses internalisasi produksi, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internsional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi, secara lebih konkrit, hal itu berarti reorganisasi sarana-sarana produksi, penetrasi lintas negara industri, perluasan pasar uang, penjajahan barang-barang konsumsi sempai ke negara-negara Dunia Ketig dari Dunia Pertama, dan penggusuran penduduk lintas negara secara besar-besaran. Sedangkan sebagai pengertian pilitik-idiologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberalisasi perdagangan dan investasi, dergulasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Sebagai pengertian ilmu pengetahuan, globalisasi tidak hanya dipakainya kaidah kebenaran ilmu yang bersumber pada empirisme dan cara penalaran konteks masyarakat dan alam Negara-Negara Maju bagi Negara-Negara Tertinggal tanpa memperhatikan ke-khasan masyarakat dan alamnya, tetapi juga termasuk usaha-usaha untuk membangun kebenaran ilmu untuk pemanusiaan manusia termasuk mencari keterangan ilmiah pengetahuan lokal dan tradisi. Sebagai pengertian teknologi, gobalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi, tidak hanya terutama teknologi komunikasi dan informasi, namun juga teknologi penghancur lingkungan serta bioteknologi pengancam manusia tanpa kemampuan kendali. Keduanya telah meringkas hamparan dunia menjadi tombol keputusan dari balik meja penguasa ekonomi dan politik adikuasa. Dan pengertian budaya, globalisasi tidak hanya merupakan proses harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas keberagaman, hak-hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi. Proses demikian merupakan gerakan menuju kewargaan duni universal yang melampaui batasan negara-kebangsaan.23
Globalisasi adalah suatu keniscayaan. Lambat atau cepat proses globalisasi dengan berbagai tantangannya akan terjadi dalam interaksi kehidupan umat manusia seiring dengan kemajuan yang canggih di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi. Proses globalisasi dewasa ini ditandai oleh tingkat kecepatan yang tinggi di mana pertukaran informasi dan budaya berlangsung dengan mengambil corak, manifestasi, dan sosok intensitas dengan segala variasi kompleksitasnya.24
John Naisbitt, dalam Global Paradox-nya mendramatisir pengaruh komputer terhadap pemikiran teologis itu dengan mengutip ungkapan imaginer dari Randall L. Tobies, mantan wakil ketua AT&T (industri telkom, komputer dan elektronik yang mashur) sebagai berikut :
“ Seorang ahli teologi bertanya kepada super komputer: Apakah Tuhan ada? Super komputer itu mengatakan , bahwa ia tidak mempunyai kekuatan pemrosesan untuk mengetahuiNya. Dia minta dihubungkan dengan semua super komputer lain di dunia. Namun, dia tetap belum memiliki kekuatan yang cukup. Maka dia itu dihubungkan dengan semua mainframe di dunia dan kemudian dengan komputer mini, dan dengan semua komputer di mobil, microwave, VCR, digital dan seterusnya. Ahli teologi tersebut bertanya untuk terakhir kali: Apakah Tuhan ada? Dan super komputer itu menjawab: sekarang ada!”

Dalam contoh lain, pengaruh bahasa Inggris sekarang sudah menyusupi hampir semua sektor kehidupan, dan sudah menjadi universal. Di dunia sekarang ini terdapat lebih dari satu milyar pemakai bahasa Inggris. Enam puluh persen siaran radio di dunia menggunakan bahasa Inggris. Tujuh puluh persen pos di dunia, alamatnya ditulis dalam bahasa Inggris. Delapan puluh persen dari semua data dalam 100 juta komputer menggunakan bahasa Inggris.
Dan sekarang ini buku-buku referensi keislaman (maraji’al-buhuts al-islamiyah) sudah sangat banyak ditulis dalam Inggris, mualai dari kitab-kitab (kitab kuning) sampai studi-studi keislaman kontemporer. Dampaknya antara lain adalah tumbuhnya kecenderungan di kalangan peminat, peneliti, pengkaji dan pengamat keislaman lebih suka menggunakan referensi keislaman yang berbahasa Inggris. Disamping alasan kebahasaan (yang dikuasai), alasan metodologis lebih memuaskan, dibanding referensi lain yang berbahasa Arab atau Urdu misalnya.
Namun, gejala globalisasi yang kuat dalam segala sektor itu, diimbangi dengan munculnya semangat primordial di sisi yang lain. Munculnya gerakan politik etnis di balkan (Bosnia, Krowasia dan Serbia), seperti menyaingi gerakan gerakan politik regional Masyarakat Eropa. Cita-cita umat Islam sebagai ummatan wahidah yang digarap melalui berbagai macam forum dan lembaga, mengalami kesulitan karena munculnya konflik-konflik primordial (suku, madzhab, partai, tariqah) di lingkungan komunitas muslim di berbagai negara.25
Di sisi lain pengaruh globalisasi yang menekan dengan begitu deras dari wajah globalisasi ekonomi-idiologi politik dapat dirumuskan menjadi 12 butir dengan mempergunakan bahan-bahan yang disediakan oleh Bose, Oommen, Fernandes, Kartika dan Gautama, van Lidekerke, dalla Costa sebagai berikut :
1. Adanya beban berat dari perangkap hutang luar negeri. Ketika merdeka, Indoneisa dan India hampir tidak mempunyai hutang luar negeri, kini setiap orang menanggung Rp 7 juta dan sedikit lebih kecil dari India.
2. Terjadinya internalisasi atau migrasi modal dari Dunia Pertama ke negara-negara pinggiran Duni Ketiga.
3. Gerakan bebas tenaga kerja dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, termasuk bebas visa dan fiskal, sebaliknya gerakan tenaga kerja dari Dunia Ketiga ke Dunia Pertama dibatasi dengan kuota dan syarat apabila benar-benar dibutuhkan disana.
4. Agen pembaharuan / pembangunan bukan lagi negara tetapi MNCs/TNCs (Multi-National Corporations atau Trans-National Corporations).
5. Adanya pertukaran barang dengan tarif rendah datau zero antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, berbeda. Dari Dunia Ketiga, yang diekspor adalah barang-barang konsumsi yang eksotik yang diproduksi dengan tenaga murah dan nilai tukar rendah. Dari Dunia Pertama adalah barang-barang sarat modal dan teknologi yang belum tentu dibutuhkan oleh Dunia Ketiga, atau istilah John Kenneth “barang yang menciptakan keinginan” (created want) atau memenuhi selera hidup konsumeris, namun dibalut sebagai iklan yang meninabobokan.
6. Belum tetrbentuknya masyarakat demokratis termsuk masih lemahnya posisi tawar-menawar dari serikat buruh, tani, nelayan, pekerja profesi, pembantu rumah tangga, dan sebagainya termasuk majikan dan masih diberikannya upah dibawah UMR (Upah Minimum Regional) masih juga tidak cukup untuk hidup layak, perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, pemekerjaan anak-anak, seta perusakan anak-anak.
7. Globalisasi perdagangan melebarkan sayap ke mana-mana tetapi cenderung mendesakkan fragmentasi dan perpecahan politik pada masyarakat tujuan, terutama yang amat tertinggal secara manajerial, ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan maksud mereka mudah dikuasai dan dijarah.
8. Bekerja sama dengan pemerintah otoriter yang kebanyakan korup, terjadilah monopoli sumberdaya agraria dan alam yang merupakan tumpuan hidup subsistem ataupun layak masyarakat hukum adat maupun bangsa seluruhnya. Monopoli yang dilakukan oleh perusahaan besar lokal maupun lintas negara berakibat fatal bagi masyarakat yang harus tergusur, polusi, dan degradesi lingkungan, serta pemiskinan, peminggiran masyarakat lokal, termasuk masyarakat hukum dat.
9. Terjadinya tranformasi teknologi, khususnya yang sudah mulai usang di negara-negara maju (Amerika Utara, Eropa, Jepang) atau bahkan negara pengantara (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura), yang di dumping ke negara-negara berkembang yang cenderung polutif dan hanya dapat “efisien” karena dioperasikan oleh buruh yang murah yang kemarin-kemarin dikontrol tentara dan polisi sehingga tidak mungkin membela nasibnya dengan berorganisasi, juga teknologi yang berdampak mengurangi kesempatan kerja, kesempatan mengais kehiduan. Semuanya adalah proses pemiskinan, baik teknologi maupun manusia.
10. Dengan berdalih program penyesuaian (structural adjusment) dan pengetatan ikat pinggang (belt tightening), yang tak lain aalah untuk tujuan memampukan negara membayar kembali hutang luar negeri sekalipun bangkrut ekonominya.
11. Tiadanya alternatif bagi program ekonomi yang ada, apalagi sudah terlanjur terjerat hutang luar negeri dan memperangkap Surat Kesanggupan Menjalankan Program menyebabkan ketidak berdayaan yang tidak berkesudahan, bahkan telah menggadaikan hidup anak cucu yang belum dilahirkan.
12. Sebagai akibat dari tekanan globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian jelak dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, terjadilah reaksi etnisitas atau fundamentalis.
Dari rumusan diatas bahwa globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian jelak dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, bagaimanapun harus diwaspadai melainkan disikapi dengan cara damai/disiasati.26
Globalisasi sebagai salah satu proses historis dan sosiologis sudah pasti membawa tantangan-tantangan sebagaimana disebut diatas yang tidak mungkin terelakan oleh setiap kelompok masyarakat, termasuk umat Islam. Akbar S. Ahmaed dan Hastings Donnan mencatat,
“ Proses-proses globalisasi telah menghantam secara keras sendi-sendi kebudayaan tradisional, dan proses-proses tadi telah menimbulkan isu-isu di kalangan kaum Muslimin. Isu-isu itu tidal lagi diabaikan begitu saja oleh mereka. Orang-orang Islam sekarang ini dipaksa untuk menghadapi isu-isu yang dirumuskan sebagai respons terhadap isu-isu tadi. Masalah-masalah yang pada masa lalu hanya ditanggapi baik oleh beberapa orang yang mempunyai informasi yang baik, sekarang masalah-masalah itu diperdebatkan oleh banyak orang dalam masyarakat pada setiap tingkat organisasi sosial ”.

Sebagaimana dikutip diatas, Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan mengatakan bahwa proses globalisasi telah menerpa dan menghantam sendi-sendi kebudayaan tradisional. Dengan kata lain , ini berarti bahwa proses globalisasi telah menggoyang bahkan meruntuhkan akar-akar budaya tradisional dalam kehidupan kelompok-kelompok Muslim di dunia.
NU sebagai bagaian integral dari komunitas Muslim di Indonesia secara berkesinambungan tetap mempertahankan dan melestarikan sendi-sendi bangunan tradisi dan akar-akar budaya tradisionalnya, walaupun tidak harus mengisolasi dan menutup diri untuk menerima hal-hal yang positif dari budaya Barat atau budaya mencanegara lainnya.
Begitu pula NU tetap bersikap konsisten dalam melaksanakan strategi kebudayaan sebagaiaman telah dirumuskan secara tepat dalam “Al- Muhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Prinsip dan strategi kebudayaan yang dianut diatas mengandung implikasi bahwa terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif seperti sains dan teknologi, NU dan seluruh jajaran jama’ah dan warganya mengapresiasi, mempelajari, menerima dan mengaplikasikannya. Penerimaan NU terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif adalah perlu dan merupakan keniscayaan dalam rangka untuk memodernisasi cara kerja NU.
Menghadapi tantangan globalisasi dewasa ini , tak ada pilihan lain kecuali menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang “ modern” tanpa harus kehilangan nilai-nilai dasar tradisionalnya, secara kreatif meramu tradisi dan modernisasi serta mengharmonikan keduanya dalam satu konfigurasi bangunan yang selaras dan ideal sehingga tidak hanya menampakkan sisi tradisionalismenya yang terkesan selama ini.
Citra kemoderenan tercermin pada kelompok nahdliyin dengan melakukan rekontruksi mental agar memiliki sikap mental orang-orang modern. Prof. Inkeles, ahli sosiologi dari Universitas Havard (Amerika Serikat) sebagai berikut :
Pertama, manusia modern siap sedia untuk pengalaman baru dan terbuka untuk pembaharuan dan perubahan (innovation and change). Dalam hal ini ia membedakan dirinya dengan manusia tradisional.
Kedua, manusia modern mampu membentuk pendapat tentang jumlah besar masalah dan isu yang timbul, tidak hanya dari segi luarnya saja.
Ketiga, manusia modern dalam orientasinya terhadap berbagai pendapat yang ada bersikap lebih demokratis. Ini berarti bahwa di lebih sedar tentang aneka ragam sikap dan pendapat di sekitar dirinya. Dia tidak menutup dirinya dalam kepercayaan bahwa setiap orang berpikir serupa dengan dia. Dia tidak serta merta menerima gagasan-gagasan atasannya dalam hirarkhi kekuasaan. Demikian juga dia tidak menolak begitu saja pendapat orang yang dedudukannya berada di bawahnya.
Keempat, manusia modern berorientasi ke masa sekarang dan kedepan, dan bukan kemasa lampau. Orientasi ini membawa konsekwensi kepada tanggapannya tentang waktu, dan lebih teratur dalam mengurus persoalan-persoalannya.
Kelima, manusia modern berorientasi kepada dan terlibat dalam perencanaan (planning) serta pengorganisasian dan ia percaya padannya sebagai suatu cara untuk mengatur kehidupannya.
Keenam, manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar sampai pada tingkat yang jauh untuk menguasai sekelilingnya, guna memajukan tujuan dan sasarannya dan bukan sebaliknya, yakni dikuasai seluruhnya oleh lingkungannya itu.
Ketujuh, manusia modern mempunyai kepercayaan bahwa dunia ini dapat diperhitungkan, dan bahwa orang lain dan lembaga-lembaga di sekitarnya dapat diandalkan guna memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Ia tidak percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh takdir atau oleh ulah tabiat khusus dan ciri-ciri manusia. Ia percaya pada dunia yang bertimbang ras, berdasarkan hukum, dibawah kontrol manusia.
Kedelapan, manusia modern mempunyai kesadaran terhadap martabat orang lain dan cenderung menunjukan respek terhadap mereka.
Sesembilan, manusia modern percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesepuluh, manusia modern percaya pada keadilan yang terbagi (distributive justice). Artinya, ia percaya bahwa ganjaran-ganjaran harus sesuai dengan sumbangannya (kontribusi) dan tidak berdasarkan pada ulah atau milik-milik istimewa orang yang tidak ada hubungannya dengan sumbangan itu.
Sifat-sifat orang modern seperti diungkap oleh Prof. Inkeles di atas diangkat dari pengamatan terhadap paradigma kehidupan Barat yang berpandangan hidup sekuler dan antroposentris. Kendatipun demikian, sifat-sifat tadi dapat direkomendasikan untuk ditumbuhkan dalam diri pribadi orang-orang Islam pada umumnya, dan pribadi nahdliyin pada khsusnya dengan catatan bahwa penumbuhan sifat-sifat tersebut didasari oleh nilai-nilai dan motivasi Islam sehingga perilaku dan tujuan hidup yang hendak dicapai tetap bertumpu pada pencarian dan perolehan keridlaan Allah SWT.27
D. Implikasi Hasil Nilai-nilai Pendidikan Aswaja
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, paham yang banyak menyita perhatian dan dianut oleh komunitas NU dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan kepada (1) Al-Qur’anul Karim, (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukna bersama-sama shabatnya, (3) Sunnah Khulafaurasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Pada awalnya, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran teologi yang dikembangkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi. Madzhab kalam ini merupakan jalan tengah antara rasionalisme Mu’tazilah dan amtropomorpisme Jabariyah. Ia mempelopori pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan rasional dan tekstual.
Paham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dianut NU, dibidang fiqih menganut madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Adapun dalam bidang kalam menganut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah-Asy’ariah artinya penganut pemikiran al-Asy’ari (sebagai analogi: Webwrian artinya penganut pemikiran Max Weber). Sedang dalam tasawuf madzhab Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali.
NU berpegang pada madzhab empat, berarti bahwa produk hukum Islam (fiqih) dari empat mujtahid, Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali-harus dipegang teguh. Dalam kenyataanya NU lebih condong pada pendapat Syafi’I , sehingga wajar NU sering di “cap” sebagai pemegang penganut fanatik madzhab Syafi’i . dengan konsep madzhab empat ini, secara historis NU berharap memiliki keleluasaan menerapkan kebijakan jam’iyahnya untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul, sehingga tidak kaku dengan berbagai alternatif dari madzhab yang ada, meskipun tradisi NU lebih banyak berkiblat pada madzhab Syafi’i . ternyata dalam lingkungan madzhab Syafi’i sendiri masih dimungkinkan munculnya alternatif pemecahan karena tersedia beberapa pendapat yang berbeda.
Dasar pemikiran NU untuk tetap berpegang pada salah satu dari empat madzhab yaitu bahwa pokok atau dasar semua hukum Islam ialah Qur’an. Karena Al-Qur’an itu undang-undang pokok yang memiliki seberapa bab yang mengandung bahasa tinggi dan bercabang dan sebagainya, maka tidak boleh menafsirkan (mengartikan) AL-Qur’an hanya dari ayatnya saja. Tetapi juga harus dan wajib memeriksa dua perkara: Pertama al-Hadits atau sunnah. Karena Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada yang lebih mengerti dan paham akan maksud dan arti kandungan yang sebenarnya kecuali Nabi Muhammad; maka Nabi inilah yang menunjukan maksud dan arti kandungan Al-Qur’an itu lewat perkataan, perbuatan dan tingkah laku.27
Paham Aswaja yang dikembangkan NU secara umum berpangkal pada tiga pandangan pokok seperti telah disebut diatas. Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok tersebut, NU dalam mengantisipasi perubahan zaman, terutama dalam bidang hukum dan politik, disamping menggunakan empat sumber hukum Islam yakni al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, juga mengacu pada lima pokok tujuan Syari’ah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam as-Syathibi, yakni : melindungi agama, jiwa, keturunan atau kehormatan, harta dan akal sehat. Lima pokok tujuan Syari’ah itu masih ditopang lagi dengan kaidah kaidah fiqih (argumen-argumen rasional) sebagai berikut :
1. Setiap urusan tergantung tujuannya.
2. Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena keraguannya.
3. Bahaya itu harus dilenyapkan.
4. Kesulitan itu dapat menghilangkan kemudahan.
5. Adat kebiasaan itu dapat dikukuhkan sebagai hukum.
Dari kelima kaidah pokok tersebut, kemudian lahir kaidah-kaidah fiqih lain sebagai cabang-cabangnya, yaitu :
1. Menghindari kerusakan harus didahulukan atas melaksanakan kebaikan.
2. Apabila terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka harus dipertimbangkan bahaya yang lebih besar, dengan menjalankan resiko yang lebih kecil.
3. Kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu menjadi wajib pula.
4. Apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.
5. Apabila keadaan sempit lapangkanlah dan apabila keadaan lapang persempitlah.
6. Memelihara hal lama yang baik, dan mengambil baru yang lebih baik.
7. Kesulitan memperoleh segala sesuatu yang semula dilarangnya.
Dengan berpijak pada kaidah-kaidah fiqih seperti dikemukakan di atas, dalam aspek sosial kemasyarakatan, NU mencoba mengembangkan sikap-sikap Tawassuth (moderat/sikap tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar).29
Sikap moderat Ahlussunah Wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbath) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan atri penting posisi akal/ra’yi, begitu pula dalam wacana berpikir selalu menjembatani kerangka berpikir oleh imam madzhab serta generasi berikutnya dalam mengistinbathkan hukum.
Sedangkan sikap netral (tawazun) Ahlussunah Wal Jama’ah berkaitan dengan sikap mereka dalam merespon dan berhadapan dengan prsoalan sosial politik. Ahlussunah Wal Jama’ah tidak terlalu membenarkan sikap kelompok garis keras (ekstrim). Akan tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang zalim, tirani dan diktaktor, mereka tidak segan-segan untuk mengadakan aliansi untuk menghadapinya. dengan kata lain, suatau saat mereka bisa akomodatif, namun pada saat yang lain bisa kritis walaupun masih dalam tawazun.
Sedangkan dalam sikap ta’adul (keseimbangan) Ahlussunah Wal Jama’ah terefleksi pada kiprah mereka dalam khidupan sosial antara sesama dalam spektrum budaya tertentu.
Pemahaman Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai akumulasi doktrin-doktrin sebagaimana yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh Sunni menjadikan doktrin Aswaja tidak mampu untuk berhadapan dan berdialog dengan perubahan seiring dinamika masyarakat yang berkembang. Rumusan yang selama ini dijadikan acuan teologis bagi mayoritas umat Islam tidak mampu lagi mengakomodasi tuntutan perubahan. Munculnya tatanan masyarakat yang timpang dan tidak demokratis tidak mampu lagi dibaca dalam kerangka rumusan doktrin lama ini. Hal ini terlihat dari fatwa-fatwa ulama dan organisasi keagamaan yang sering kali melegitimasi kebijakan penguasa atas nama agama untuk kepentingan tertentu.30
Dalam diskursus sosial-budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu tidak mengherankan dalam tradisi kauym Sunni terkesan wajah kultur Syi’ah ayau bahkan juga Hinduisme.31
Jika di amati secara teliti, dinamika perkembangan NU dewasa ini agaknya tidak terlepas dari sosok figur yang bernama Abdurrahman Wahid. Sejak ia mengemban kepemimpinan di Tanfidziyah tahun 1984, NU seolah sedang memasuki dunia baru yang penuh dengan dinamika dan gejolak, baik intrnal maupun eksternal.
Sebuah harapan, bahwa polemik (al-khiwar), munaqosah, dialog dan ikhtilaf dalam hal pemikiran keagamaan, ketika masih dalam koridor etika intelektual, dapat menjadi tradisi baru dalam khasanah “NU Baru”. Gus Dur, dan teman-teman. Seperti yang dilontarkan Martin32 tokoh filsafat Barat mengatakan sebagai usaha generasi yang masih seide dengan gagasan Abdurrahman Wahid, sebut saja, misalnya, K.H Sahal Mahfuz, K.H Mustofa Bisri, Masdar Farid Mas’udi dan seterusnya, sebagai sosok figur yang mendorong dan turut meletakkan dasar-dasar keterbukaan dan menfasilitasi perkembangan pemikiran selama beberapa dekade ini berlangsung. Menjadi keniscayaan bagi generasi NU kedepan adalah bagaimana NU lebih menfasilitasi tranformasi yang sedang terjadi dan membina keberdayaan sosial politik dan terutama ekonomi masyarakat bawah sebagai prasyarat terbangunnya civil Socity yang tercerahkan.33
Nampaknya tampilnya Gus Dur sebagai orang nomor satu di tubuh NU, dan orang-orang yang ikut mendorong terhadap perkembangan NU telah memberikan kobntribusi perubahan terhadap lanskap sosiologis yang sudah terbentuk lama. Mengingat langkah-langkah pembaharuan yang dilakukannya, timbul kesan sementara pihak bahwa dalam beberapa hal justru NU dinilai lebih maju daripada organisasi-organisasi Islam lain.
Banyak terobosan yang sudah dilakukan oleh gerakan pembaharuan, dalam hal ini Gus Dur dan teman-teman, meski tidak semuanya berhasil. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi, ia telah merintis kerja sama dengan Bank Summa dengan mendirikan BPR Nusumma. Juga bekerja sama dengan beberapa konglomerat untuk mendirikan pabrik. Dalam bidang sosial, dia memndorong berdirinya LSM-LSM di bawah payung NU, kemudian menjalin kerja sama dengan LSM dan lembaga-lembaga internasional. Sementara dalam masalah keagamaan, ia memperbaharui pandangan dan sikap NU tentang berbagai hal, seperti kesetaraan Pria-Wanita (gender). Kemudian ide tentang “pribumisasi” Islam, tentang asuransi, pajak, bunga bank, kasus Asslamu’alaikum dan selamat pagi, serta banyak hal lain.
Lontaran-lontaran pembaharuan pemikiran Islam yang di pelopori oleh almarhum KH. Akhmad Siddiq tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Muhammadiyah. Hasil Munas Cilacap menandai dimulainya gerakan pembaharuan di tubuh NU. Langkah-langkah yang lebih konkrit kemudian dilakukan, seperti penilaian ulang kiab-kitab kuning yang digunakan di pesantren, metode pengambilan keputusan dengan merujuk langsung Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam ranah semangat pluralisme dan demokrasi, citra NU telah berubah dari organisasi ekslusif, konservtif, dan fundamentalis menjadi NU sebagai organisasi yang inklusif, modern dan moderat.34 Dalam konteks hubungan dengan kelompok lain baik lingkup Nasional atau Internasional, Gus Dur mampu menjalin hubungan yang baik dalam rangka menjaga keutuhan pluralitas kehidupan.
Abdurrahman Wahid ?
Dalam bagian ini, agaknya sangat perlu untuk mengenal tokoh ini secara lebih dekat.
Nama lengkap Abdurrahman Wahid adalah Abdurrahman Ad-Dakhil, diambil dari salah seorang tokoh Islam terkemuka pada zaman dinasti Bani Umayyah. Secara leksikal, ia berati Abdurrahman sang penakluk. Abdurrahman Wahid dilahirkan pada tanggal, 4 Agustus 1940, di Desa Tambak Beras Jombang, sebuah lingkungan desa pesantren cukup terkenal di daerah itu. Abdurrahaman Wahid dibesarkan di Jakarta, Ayahnya adalah K.H Wahid Hasyim, putra pendiri NU Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, serta pernah menjabat sebagai Menteri Agama pada kabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman. Sedang dari garis Ibunya ia mewarisi darah KH. Bisyri Syamsuri, juga salah seorang Rais ‘Am NU. Ada sebagaian orang yang menyebut Abdurrahman Wahid adalah keturunan Cina, dengan silsilah sebagai berikut : Akhmad bin Isa adalah keturunan Arab yang pindah ke negeri Campa dan kawin dengan wanita Cina, kemudian mempunyai anak bernama Abdul Kadir (Tan Kin Ham, prajurit jendral muslim Ceng Ho), dia gugur dalam perang melawan pasukan majapahit, serta dimakamkan di Desa Tuloyo, Mojokerto. Tan Kin Ham menurunkan anak bernama Raden Rakhmat (Sunan Ampel), yang kemudian menurunkan KH. Hasyim Asy’ari, kemudian menurunkan Wahid Hasyim, kemudian menurunkan Abdurrahman Wahid. Jika dielusuri ke jalur atas, silsilah tersebut akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW: Akhmad bin Isa, bin Ali Uraidzi, bin Ja’far As-Sadik, bin Muhammad Ali Baqir, bin Ali, bin Zainal Abidin, bin Khusein, bin Ali, bin Fatimah, binti Muhammad SAW.35
Sebagai riwayat Abdurrahaman Wahid dalam mengarungi dunia pendidikan, setelah lulus dari SMA dan pesantren, Abdurrahman mengajar di pesantren sebelum melanjutkan belajarnya ke Al-Azhar, ternyata disana merasa kecewa dengan standar berfikir kritis yang digunakan dan oleh karena itu ia lebih menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan Universitas Amerika dan bergabung dengan kelompok diskusi intelektual, setelah dua tahun di Kairo kemudian pindah ke Bagdad, salah satu kota pelajar yang paling maju, canggih dan cosmopolitan di dunia arab dan selama empat tahun belajar di tempat tersebut.36
Dilihat dari segi keturunan, Abdurrahman Wahid rupanya masih tergolong keturunan “darah biru” terlepas dari itu semua, mengamati sosok Abdurrahman Wahid selama ini, disamping karena kebesaran moyangnya, Abdurrahman Wahid sendiri telah membuktikan sebagai figur sentral di masyarakat.37
Abdurrahman Wahid adalah salah seorng intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih 15 tahun menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran.
Salah satu aspek yang dapat dipahami dari Abdurrahman Wahid adalah bahwa ia penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya Cina Indonesia, juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang kurang diuntungkan oleh penguasa / pemerintah. Abdurrahman Wahid dipahami sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia beragam.38
Tansformasi pemikiran yang dilakukan Abdurrahman Wahid, memang membuahkan hasil yang luar biasa. Ini bisa dilihat dengan munculnya generasi baru di tubuh NU yang corak pemikirannya sangat modrn dan kosmopolit. Tansformasi pemikiran yang dilakukan Abdurrahman Wahid dapat dipahami sebagai produk dari pergumulan intensifnya dengan tiga kepedulian utama, yakni refitalisasi khazanah Islam tradisional Aswaja, keterlibatannya dalam wacana dan kiprah modernitas, dan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Aswaja. Dalam hal ini, kata kunci yang digunakan Abdurrahman Wahid adalah “dinamisasi” menyatakan bahwa istilah “dinamisasi” yang dipergunakan Abdurrahman Wahid pada tahun 1970-an merupakan sebuah terobosan kreatif, lewat khazanah Islam tradisional dapat di gali untuk menjawab tantangan dunia modern. Islam tradisional yang sering dianggap konservatif dan menolak pembaharuan (tadjid), oleh Abdurrahman Wahid justru dianggap sebagai salah satu kelompok yang paling siap mengantisipasi perubahan dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu, yang diperlukan adalah proses dinamisasian terhadap nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang lebih sempurna.
Menurut Hikam (1996), salah satu nilai dinamisasi yang berhasil dari Abdurrahman Wahid dalam melakukan pembaruan di bidang politik adalah komitmen kemanusiaan yang ada dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar untuk penyelesaian tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas di dalam sebuah masyarakat modern dan pluralistik di Indonesia. Humanitarianisme Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial.
Kedua, ketrlibatan Abdurrahman Wahid dalam wacana dan kiprah modernitas. Pendekaatan yang digunakan Abdurrahman Wahid menurut Hikam, lagi-lagi mencerminkan akar tradisionalnya. Baginya, pendekatan yang terbaik adalah melalui dialog intens dan kritis dengan modernitas untuk mencari titik temu di mana kerja sama antar agama dan proyek pencerahan dilakukan demi kemaslahatan manusia. Bagaimanapun harus diakui, modernitas telah menyambungkan hasil-hasil yang bermanfaat bagi umat manusia, di samping juga menghasilkan ekses lain yang merusak.
Hal ini sebenarnya yang membedakannya dengan sebagian pemikir Islam Indonesia terhadap apa yang mereka sebut filsafat sekuler. Konsekwensinya, dalam mensiasati persoalan konkrit muncul perbedaan besar antara Abdurrahman Wahid dan para penganut pemikiran fundamentalistik itu. Ini tidak berarti Abdurrahman Wahid menerima segala bentuk produk pencerahan. Sejauh bahwa ia menafikan elemen trasendental sebagai sumber moral dan etika, pencerahan telah ikut bertanggung jawab bagi kemerosotan kualitas hidup manusia dan juga kerusakan yang timbul akibat modernisasi. Bagi Abdurrahman Wahid, modernisasi tanpa landasan moral-trasendental, hanya melahirkan kemajuan fisik namun tak bermakna. Kelemahan dasar proyek pencerahan adalah keterlepasannya dari pijakan trasendental yang sebenarnya mampu memberikan makna dan arah bagi gerak laju hidup manusia.
Ketiga, pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam sebagai akibat dari proses modernisasi. Memahami sepenuhnya realitas politik yang ada dalam rangka mengantisipasi perkembangan ke depan bangsa Indonesia, target utama Abdurrahman Wahid adalah perubahan paradigma dalam wacana kiprah politik Islam. Titik strategispun ditemukan, yaitu pengembangan wawasan kebangsaan, demokratisasi, pembentukan Civil Society yang kuat, dan pemberdayaan rakyat bawah.
Bagi Abdurrahman Wahid, wawasan kebangsaan merupakan sebuah kenyataan politis yang tak bisa di ganggu gugat. Dalam hal ini ia harus dipahami sebagai ruang tempat perjuangan politik umat Islam dilakukan. Visi inilah yang membuat Abdurrahman Wahid begitu getol dalam menyuarakan pentingnya komitmen kebangsaan sebagai pijakan pertama bagi umat Islam Indonesia ketika berpolitik. Sedangkan dalam masalah demokrasi, hal yang penting bagi Abdurrahman Wahid adalah perwujudan substantif, misalnya kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengemukakan pendapat atau pikiran. Hal yang sama yang berlaku di Civil Society dan pemberdayaan masyarakat bawah yang meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun budaya.
Ketiga kepedulian inilah yang kemudian membingkai pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid selama ini, baik dalam aspek sosial-keagamaan maupun poitik.39